Weekend kemarin (kemarin versi orang Jawa nih), gua pergi ke Kuala Lumpur untuk menghadiri pernikahan salah seorang teman yang menikah dengan pria berkebangsaan Malaysia. Sebenarnya, tadinya gua rada malas buat datang. Soalnya selain karena jadwal sedang padat, juga (yang lebih utama) keuangan saya sedang tipis. Tapi ternyata, undangan pernikahan itu datang beserta tiket pp Jakarta - KL dan surat ancaman untuk datang ato mengganti uang tiket. Kalo udah gini, gak mungkin gak datang donk.
Di bandara, saya udah ditunggu sama Aishah. Rencananya, selama di KL gua bakal nginap di rumahnya. Peluk dan tawa mewarnai pertemuan kami. Maklum sudah 2 tahun lebih kami gak ketemu. Aishah gak berubah. Dia masih tetap ramah, pelukannya tetap erat, dan tawanya masih membahana, sampe bikin orang sekitar pada ngeliatin. Sepanjang perjalanan, sambil nyetir ngebut, Aishah banyak bercerita tentang kabar kawan - kawan Malaysia lainnya. Tapi perhatian saya cuma 1/2 ke cerita Aishah, saya lebih fokus memperhatikan gaya menyetirnya. Duh nih anak! Dimana aja gak bisa kalem dikit. Hobi ngebutnya itu dulu yang bikin kami dapat masalah waktu di Wina.
O iya, saya belum cerita bagaimana kami bisa berkenalan. Saya kenal budak Malaysia (sebutan saya untuk mereka) ini waktu sedang ngikutin konferensi internasional di Wina +/- 5 tahun lalu. Waktu itu peserta dari Asia Tenggara cuma saya, Tasya (yang akan menikah) dan ke-6 anak Malaysia lainnya. Karena letak negara & kamar hotel yang berdekatan, kami ber-8 jadi akrab dan terus berkirim kabar sampai hari ini walau jarang bertemu.
Besoknya kami ber-7 (minus Tasya) ngumpul di rumah Kamillah. Sempat agak syok ketemu nenek baru nya Kamillah yang umurnya baru 25 tahun (kakeknya Kamillah udah 75 lho). Dan Malika (nenek tiri-nya Kamillah) punya penampilan yang nyentrik. Celana pendek sepaha, tank top ketat, dan suka ber-honey darling dengan suaminya. Kamillah cuma geleng-geleng kepala dengan lucu waktu cerita tentang Malika (nama si nenek). "Gua gak bisa manggil dia nenek. Untung juga dia minta dipanggil Malika aja. Umur gua sama dia cuma beda 3 tahun. Yah biarin deh. yang penting kakek senang aja ," jelasnya dengan logat Indonesia yang fasih. Ibunya Kamillah orang Sunda asli,dan Kam pernah tinggal di jakarta waktu SD, makanya dia jago bahasa indo bahkan sampe ke bahasa gaulnya. Tapi pembicaraan soal Malika gak lama-lama. Kami lebih tertarik ngobrol tentang Tasya dan Fardhan (calon suaminya).
Undangan Tasya baru kami terima seminggu lalu dan sejak itu Tasya gak bisa dihubungi. Kata keluarganya sih, Tasya udah dipingit buat menjalani perawatan calon pengantin macam luluran gitu. Dan dia dipingitnya di Malaysia (entah di Malaysia mana). Sebenarnya sih klo gitu doang gak aneh. Yang dianggap masalahnya oleh Aishah & teman-teman lain, Fardhan dan Tasya kenalan lewat internet. Dan mereka baru sekitar 3-4 kali ketemu. Sisanya cuma lewat email ato telpon. Dan mereka penasaran, kok bisa Tasya nekat married? Kan dia gak kenal banget? Cuma lewat email, bisa tau apa? Klo buat saya sih gak aneh, Tasya bukan teman pertama saya yang ketemu jodoh lewat internet, dan rata-rata pernikahan mereka bertahan tuh.
Akad nikah Tasya diadakan pada hari minggu, di masjid agung KL (lupa namanya apa). Sayangnya kami gak bisa ngobrol (ya iyalah! Masak prang mo akad, diajak ngobrol?). Waktu pembacaan akad, kami semua dibuat bengong dengan jumlah mas kawinnya. Mahar buat Tasya, 200.000 poundsterling. Gosh, itu sekitar 2 M, belum termasuk seperangkat alat sholat, 1 stel perhiasan, dan 1 mobil Ashton Martin. Rasanya sih bukan cuma kami yang tercekat kaget. Dan jadi bertanya-tanya, sebenarnya siapa sih Fardhan ini?
Pertanyaan itu terjawab waktu dengerin obrolan yang berlangsung di sekitar. Katanya sih, Fardhan itu masih termasuk keluarga sultan, entah Sultan yang mana. Yang pasti bukan di KL. Dan sekarang pertanyaanya berubah jadi : Dimana Tasya mungut pangerannya ini?
Untungnya, kami bisa ngobrol juga sama Tasya di sela waktu antara setelah akad dan resepsi (yang diadakan malamnya). Langsung deh dia dihabis dicecar pertanyaan, seputar dimana dia ketemu Fardhan, apa bener dia keluarga Sultan, dan yang paling penting, kok tega-teganya Tasya gak pernah cerita? Jawaban Tasya bisa diringkas jadi gini :"Aku ketemu Fardhan di friendfinder.com. Kita udah jadian 2 taun. Dia udah ke Samarinda 2 kali ketemu keluargaku. Trus maap sih, bukannya gak mau cerita, tapi aku juga gak tau klo dia keturunan Sultan. Waktu kenalan sama keluarganya dulu, ketemunya di KL. Keluarganya memang tinggal disini. Kata Fardhan sih keluarga besarnya tinggal di negara bagian lain. Well, buatku itu gak penting. yang penting kan keluarga intinya. Setelah lamaran resmi, aku ketemu keluarga besarnya di Kuala Lumpur juga. Aku baru tau siapa dia waktu diajak ke rumah kakeknya minggu lalu. Itu sih bukan rumah. Itu istana. Tapi sejak hari itu aku udah dipingit. Itu juga sebenarnya diajak ke sana karena sudah tradisi keluarga mereka klo calon pengantin musti menjalani perawatan tubuh disana. Makanya aku gak bisa cerita sama kalian."
"Hem...berarti udah 2 temen ku yang menikah karena friendfinder.com ya," gumam saya.
"Maksudmu Dian?" tanya Tasya. Dia mengerutkan keningnya. "Aku tau sih klo dia ketemu Gamal on the net. Tapi emang friendfinder juga?"
"Bentar dulu," potong Kam cepat. "Maksud loe Dian temen loe yang married sama orang Turki itu? Trus ternyata keluarga suaminya tuh termasuk keluarga gedean disana?"
"Yep!" angguk saya mantap. "Gamal juga terhitung salah 1 dari 25 miliuner muda di Asia lho."
"WHAT?? Ada apa dengan pria-pria ini? Kenapa mereka suka sama hubungan maya begitu?" tanya Jitra tak percaya.
"Jangan lupain Fiona, Wi! Mei nanti dia mo married sama Peter," tambah Dian. "O ya , Peter itu salah satu programmer muda jenius yang gajinya paling gede di Silicon Valley lho." Penjelasan itu ditujukannya pada Liza, Jitra, Aishah, Kamillah, Sheela dan Roshita. Mereka melongo menatap Tasya sementara Tasya malah menatap penuh kemenangan. Soalnya, mereka suka ngecengin Tasya waktu awal-awal Tasya pacaran sama Fardhan. Katanya sih hubungan kayak gitu gak langgeng, gak bisa diandalkan, dan kebanyakan isinya tuh penipu besar ato orang-orang yang gak berhasil di social life dan melarikan diri ke dunia maya. Tapi cerita-cerita tadi kayaknya mengubah pandangan mereka tuh.
Dan bisa ditebak donk kegiatan mereka malamnya? Ngumpul di kamar Liza, mereka semua ramai - ramai mendaftarkan diri ke friendfinder. Kata Kamillah sih sebenarnya gengsi juga, tapi..."Namanya juga usaha".
PS : Buat Bridget, gua dah bilang kan? Prince charming tuh masih ada lagi. Masalahnya, apa dia buat kita ato gak?
2 comments:
Hehehe.. gua kurang setuju yg "PS" itu, Wi :p Kalo Prince Charming dlm pengertian pangeran spt di dongeng2 or 'pangeran' modern spt suami temen elo itu, gua setuju, ngga semua orang bisa dapetin 'prince charming' macam itu but sampe skg gua masih percaya kalo each of us has our own prince charming :) Hihihi.. ngga musti yg gimana banget sih cuman maybe seseorang yg membuat kita merasa kalo diri kita special kali ya? Blebep aahh..
maksud gua tuh, prince charming yang bener-bener pangeran lagi :D
Post a Comment