Seberapa jauh boleh ikut campur ?
"Kak Wi, tau gak dimana klinik aborsi? Ato gak dukun buat yang kayak gitu deh?" Sudah pasti saya terkejut. Tapi dengan ekspresi yang saya usahakan senetral mungkin, dan suara yang saya jaga tetap tenang, saya pun bertanya. "Emang buat siapa?"
"Gue," jawabnya pelan setelah terpekur sebentar. "Dan baru jalan 2 bulan," tambahnya tanpa diminta. "Tau gak, Kak?" desaknya lagi.
"Nggak tau," jawab saya diikuti dengan gelengan kepala untuk menegaskan. Dan bahkan klo tau pun gak bakal ngasi tau, batin saya.
"Tolong cari tau ya," pintanya dan kemudian berlalu sebelum saya menjawab. Bagus juga karena saya tak akan menyanggupinya. Saya memandangi sosok belakangnya. Seberapa jauh saya boleh ikut campur dalam hal ini?
"Kak Wi, udah dapat infonya belum?" Lima hari kemudian, dia kembali menanyakan hal yang sama. Waktu saya menjawabnya dengan gelengan kepala, dia langsung mendesah kecewa. Kasihan juga saya melihatnya.
"Kenapa musti aborsi sih? Gak ada cara lain? Erwin (bukan nama sebenarnya) udah tau belum?"
"Cara lain paan? Married? Wah enggak deh. Gua gak mau ampe ketauan nyokap, lagian gua belum siap married sekarang. Erwin juga belum siap," jawabnya pasti. Lho? Klo belum siap menikah, kenapa melakukan kegiatan seperti orang yang sudah menikah? saya kembali membatin.
"Ayolah Kak Wi, gak ada cara lain ya? Minum obat apa gitu? Kakak kan udah kuliah obgyn, pasti tau kan?" desaknya lagi. Matanya yang biasa berbinar - binar kali ini tampak redup.
Saya hanya meghembuskan napas dengan keras, pertanda saya mulai kesal. "Dek, di obgyn diajarin gimana cara menyelamatkan bayi. Aborsi hanya kalau sudah terjadi kematian janin. Lagian jangan sampe lah kita menyalah gunakan ilmu yang kita dapat."
Bibirnya yang tipis dan manis itu melekuk cemberut. "Abisnya gimana? Lagian ini kan baru 2 bulan. Belum bernapas."
Hem......sepertinya saya memang membutuhkan tambahan kesabaran. "Sebagai mahasiswa kedokteran semester 5, lu juga pasti tau klo kehidupan diakui mulai sejak pembuahan."
Dia terdiam mendengar bantahan saya. Dan saya pun kembali bersimpati. "Ayolah. Jangan aborsi. Kalo memang gak mau, setidaknya berikan kepada orang lain yang mau. Pikirkan gimana lu di masa depan ntar."
Dia menggeleng keras kepala. "Dibilang gua gak mau ortu tau! Lagian soal masa depan biar ntar aja lah gua urus ndiri."
Saya hanya diam. Dan pertanyaan yang sama kembali muncul dalam pikiran saya. Seberapa jauh boleh ikut campur? Dia toh bukan teman baik bahkan bukan teman dekat. Sampai sekarang pun saya masih tidak mengerti kenapa dia memilih menceritakan masalahnya pada saya yang hanya kenal begitu saja. Saya bukan kakak pembimbingnya apalagi mentornya. Cuma suatu kebetulan bahwa saya adalah teman kakak mentornya. Dan hubungan saya dengan kakak mentornya juga tidak bisa dibilang dekat. Jadi bisa dibayangkan betapa sebenarnya kami tidak akrab sama sekali. Dan seberapa jauh boleh ikut campur? Bahkan pada teman dekat pun saya tidak yakin boleh bebas mencampuri urusan pribadi.
"Kak Wi, gua udah ketemu tempatnya. Erwin nanya ke temannya. Mungkin besok mau kesana." Seminggu setelahnya, dia menghampiri saya dan menceritakan "berita baik" nya dengan wajah berseri. Kebingungan yang selalu ada di wajahnya akhir-akhir ini telah berganti dengan kelegaan yang sangat.
Dan saya tahu bahwa kali ini saya musti mengutarakan sesuatu. Tidak bisa berbuat banyak memang, paling hanya menyuarakan pendapat saya. Tapi mudah - mudahan itu cukup. Saya teringat, "pendapat" saya dulu telah mengakibatkan seorang teman saya meninggal, tapi kalau kali ini saya diam, maka akan ada nyawa lain yang hilang. Setelah saya mengungkapkan pendapat saya, wajahnya menjadi cemberut dan kemudian dia berlalu meninggalkan saya. Yah setidaknya saya sudah berusaha. Meski begitu ada perasaan tak enak di sudut hati. Menyadari bahwa sebenarnya tadi bukanlah usaha terbaik saya, bahkan mungkin tidak bisa digolongkan baik.
"Eh Kak wi, gua udah kesana sama Erwin. Disana dipijat. Sakit banget deh, ampe jejeritan. Trus keluar gumpalan darah gitu sih. Malah kayaknya gua ngeliat bentuk kayak gigi gitu deh. Abis itu disuruh minum cairan macam jamu peluruh kali ya. Pokoknya eneg banget, ampe pengen muntah. Tapi abis itu perut rasanya gak terlalu sakit sih walaopun ada perdarahan." Dia menceritakan semua itu dengan penuh semangat dan wajah berseri-seri. Sedih rasanya melihatnya, mungkin dia belum menyadari bahwa yang sedang digugurkannya itu anaknya sendiri, atau dia belum berpikir tentang perasaannya di masa nanti ketika dia teringat saat ini.
"Lu gak takut?" Cuma itu yang bisa saya tanyakan.
"Takut sih. Tapi gak ada jalan lain," jawabnya cuek.
"Kak Wi, kemarin udah kali ketiga gua ke sana. Liat kayak ada bentuk jari gitu sih. Kata mak pijitnya, kalo bentuk jari gitu dah keluar berarti udah bersih. Terus dikasi cairan lagi, lebih eneg dari yang kemarin-kemarin. Tapi abis itu perdarahannya jadi lebih banyak dan udah gak sakit lagi sih."
Keceriaan di wajahnya benar-benar tak ditutupi lagi. Dia tampak sangat lega dan bahagia. Saya cuma tersenyum samar. Tak mungkin kandungan 2 bulan sudah ada bentuk jari yang terlihat jelas. Paling itu hanya gumpalan daging yang kebetulan berbentuk seperti itu. Dan memikirkannya membuat saya mual dan miris sendiri. Sejujurnya saya merasakan perasaan bersalah dan tak berdaya. Sedih rasanya melihat dia mengambil jalan seperti itu dan saya tidak berdaya melakukan apa pun. Sebenarnya bodoh juga saya merasa seperti itu. Toh dia terlihat sangat puas dan bahagia. Kalau dia saja tidak pusing, kenapa saya yang musti rusuh sendiri?
"Kak Wi, makasi ya udah jadi pendengar yang baik. Pasti heran kan kenapa gua milih cerita ke lu? Karena gua yakin lu gak bakal bocor. Paling gak, nama gua pasti off the record. Dan gua juga mo makasi karena lu gak judge ato mencela gua." Kata-katanya menyadarkan saya dari pikiran saya. Seandainya saya mencelanya, apa yang terjadi ya?
Setelah itu, hubungan kami kembali seperti biasa. Tidak menjadi sangat akrab, walau memang lebih dekat dibanding dulu. Mungkin dikarenakan perasaan kami membagi rahasia yang sama
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment