Saturday, April 26, 2008

Kasus Ujian Nasional

Ketika Pensil Anak-anak Itu Tidak Bergerak...

Sabtu, 26 April 2008 | 02:08 WIB

Oleh Andy Riza Hidayat

Kelengangan Jalan Galang, Lubuk Pakam, pecah. Rabu (23/4) pukul 13.30 ledakan keras dari pucuk senapan menyalak di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Lubuk Pakam, Deli Serdang. Sekelompok orang berpakaian sipil, tetapi bersenjata, membuka paksa sebuah ruangan di sana.

Para pendobrak pintu itu ternyata anggota Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Sumut).

Guru yang ada di dalam ruang Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Bimbingan Konseling (BK) kaget.

G Sianturi, guru bidang studi Ekonomi, hanya diam. Dia tak menduga ada petugas berpakaian sipil merangsek masuk ruangan. Petugas memergoki para guru membetulkan lembar jawaban siswa peserta ujian nasional (UN).

Tanpa banyak kata, mereka menyita 284 lembar jawaban siswa, pensil, penggaris, dan peruncing pensil. Para guru gemetar, sebagian menangis.

Tiga hari sudah berlalu, tetapi Sianturi mengaku masih shock. Dia mengatakan hanya ingin membantu siswa yang kesulitan mengerjakan soal Bahasa Inggris. Diakuinya semua direncanakan para guru. Pada saat para siswa terlihat tidak bisa mengerjakan soal, guru-guru akan membantu membetulkan jawaban. ”Kami terpaksa,” katanya.

Bahasa Inggris adalah mata ujian pertama yang dijadwalkan pukul 08.00-10.00 hari itu. Begitu soal dan lembar jawaban terkumpul, empat guru Bahasa Inggris membuat kunci jawaban dan 16 guru kemudian ”ngebut” membetulkan ulang lembar jawaban 284 siswa di ruang UKS dan BK tadi. Sementara itu, siswa meneruskan mata ujian kedua: Kimia (untuk siswa jurusan IPA), Geografi (jurusan IPS), dan Sastra Indonesia (jurusan Bahasa).

Sianturi menuturkan, guru terpaksa membantu karena kasihan siswa tak mampu mengerjakan ujian Bahasa Inggris. Mereka sudah memprediksi anak didiknya akan mengalami kesulitan meski sebelum UN, siswa sudah menjalani uji coba soal ujian dua kali. Hasil uji coba memang mengkhawatirkan. Itulah mengapa muncul ide untuk membantu siswa. Sayangnya, cara mereka justru mengubur makna pendidikan itu sendiri.

Para guru sadar, pilihan mereka merupakan tindakan keliru. ”Kami sudah mengajarinya tiga tahun. Kalau mereka gagal UN, kasihan orangtuanya, kan,” katanya. Ia menyesal, tetapi nasi sudah menjadi bubur.

Meski enggan bicara, Kepala SMAN 2 Lubuk Pakam Ramlan Lubis mengakui kejadian itu. ”Kasihan siswa. Saat mengerjakan soal Bahasa Inggris, kami lihat pensil anak-anak itu tak bergerak, tanda tak bisa mengerjakan,” kata Ramlan dengan wajah menunduk. Wajah itu kusut, tetapi hampa.

Ramlan menggerutu pemerintah terlalu memaksakan UN. Baginya, penyamaan soal UN sangat tidak adil. ”Bagi anak Jakarta, soal Bahasa Inggris itu mungkin mudah. Namun, bagi siswa kami, soal UN sangat sulit. UN ini terlalu dipaksakan sehingga kami pun terpaksa membantu siswa,” ujarnya.

Argumen Ramlan ini mungkin benar menyangkut kesenjangan kualitas pendidikan antardaerah. Ramlan dan para guru hanya tidak sampai hati saja melihat siswa mereka gagal. ”Karena sebagian besar orangtua mereka itu buruh tani dan buruh kebun,” katanya.

Kini wajahnya tambah keruh. Dua malam terakhir dia kurang istirahat. Rabu siang lalu dia harus menjalani pemeriksaan polisi bersama 16 guru lain sampai Kamis dini hari. Kini mereka berstatus tersangka pelanggar Pasal 263 (perihal pemalsuan surat) KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 6 tahun penjara. Mereka wajib lapor kepada polisi dua kali seminggu.

Ramlan ingin semua pihak memahami peristiwa di sekolahnya. Namun, ia tak melanjutkan perkataannya. Dia buru-buru meninggalkan sekolah saat sejumlah wartawan ingin meminta penjelasan lagi. Ia mengakhiri pembicaraan dan pulang.

Para guru kemarin duduk-duduk di lorong sekolah. Satu per satu meninggalkan tempat duduk setelah tahu yang datang adalah wartawan. Di beberapa ruang, sejumlah siswa berbincang. Sebagian ikut ekstrakurikuler. Saat didekati, mereka membalikkan badan.

Sejak peristiwa Rabu lalu, tak banyak informasi keluar dari sekolah. Suasana sekolah itu kini jadi beku karena kekeliruan. Bangku-bangku dan lorong sekolah terasa senyap. Di salah satu meja guru bertumpuk koran-koran berisi berita penggerebekan para guru dan kecurangan sekolah itu.

Akan tetapi, praktik kecurangan UN di Sumut tak cuma terjadi di SMAN 2 Lubuk Pakam. Kecurangan juga terjadi di enam daerah lain di 24 SMA sederajat, yaitu di Medan, Humbang Hasundutan, Pematang Siantar, Simalungun, Toba Samosir, dan Binjai. Kecurangan di enam daerah itu masih sebatas laporan Komunitas Air Mata Guru (KAMG), belum termasuk kejadian lain seperti di SMAN 2 Lubuk Pakam.

Tahun lalu, KAMG melaporkan kecurangan serupa di sejumlah daerah di Sumut. Praktik kecurangan terbukti direncanakan demi nama baik sekolah dan daerah. Yang mengherankan, proses hukum bagi para pelaku kecurangan UN ternyata tak benar-benar ditegakkan. Setahun kemudian kasus serupa terulang.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Deli Serdang Ajun Komisaris Polisi Ruruh Wicaksono mengatakan, penggerebekan dilakukan berkat informasi awal datang dari seseorang.

Kedatangan satuan Densus 88 ke sekolah mendapat reaksi keras dari Wagino, orangtua murid dan kebetulan Ketua Komite Sekolah SMAN 2 Lubuk Pakam. ”Saya menyayangkan polisi. Tindakan mereka berlebihan. Apalagi ada letusan senjata,” ujarnya.

Wagino juga kesal dan kecewa pada sekolah itu. ”Namun, itu bukan tanpa sebab. Semua terjadi karena UN dipaksakan digelar di seluruh Indonesia. Bagaimana bisa fair, kualitas guru beda, fasilitas sekolah berbeda. Anak-anak kami harus menghadapi soal yang sama dengan soal siswa di Jakarta,” katanya.

source : Kompas

================================================================

Satu bulan yang lalu, waktu adik gua cerita kalo gurunya nyuruh dia ngasi contekan ke teman - teman sekelasnya lewat sms waktu Ujian Nasional nanti. Bahkan dijanjikan adik gua bakal dilindungi dari guru pengawasnya. Gua yang denger ceritanya langsung berasa sebel dan ilfeel abis sama gurunya. "Idih, guru macam apa itu? Kok gak mendidik banget? Kok merusak mental bangsa banget?" begitu yang ada di pikiran gua waktu itu. Sebagai kakak, reaksi pertama gua adalah pengen datangin tuh guru dan protes atas omongannya. Enak aja. Capek - capek adik gua belajar, nyokap gua yang bayarin biaya lesnya dan ngerelain waktu demi nemenin adik gua belajar, eh nih guru mau enaknya aja. Tapi adik gua gak setuju dengan usul itu dan berjanji untuk gak ikutin maunya si guru. Caranya? Simple. Gak usah bawa hp aja. Kan beres!

Dan bener aja. Pas hari ujian, adik gua sengaja gak bawa hp. Si guru yang mengetahui tingkah adik gua kontan melengos sebal waktu adik gua lewat (amit - amit deh tuh orang!!!). Tapi ternyata cerita gak berhenti sampai disitu. Menurut cerita adik gua, kunci jawaban ujian beredar (entah bener ato gak tuh kunci jawaban). Gak jelas juga sih sumber kunci jawaban dari siapa. Entah temen, guru ato bahkan si penjaga sekolah, dan menurut adik gua sih (yang yakin jawabannya bener), kunci jawabannya banyak banget yang beda sama jawaban dia. Dan gua berpikir : "Kok bobrok banget sih sistem pendidikan jaman sekarang? Apa demi kelulusan jadi rela berbuat apa aja? Apa bangganya lulus dengan cara gitu?"

Tapi pas baca berita di atas, gua jadi kasihan juga sama para guru itu. Sebobrok - bobroknya mental para guru itu, sekacau - kacaunya kelakuan mereka, gua gak pengen mereka dipenjara ato apa lah. Soalnya gaji guru berapa sih? Walau pun mereka curang membantu muridnya dan berakibat para murid lulus 100% , gaji mereka gak akan naik drastis kok.

Di balik segala kelakuan gua yang suka isengin guru waktu sekolah dulu, gua masih sangat berterima kasih ke para guru itu. Dan gua juga selalu salut sama mereka karena mereka lah pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenar - benarnya. Guru itu hebat lho. Mereka menghadapi kebandelan para murid, musti mengajar dan juga mendidik, tapi dengan gaji yang minim. Semua orang hebat di negara kita ini adalah hasil didikan guru, tapi gua yakin gak ada di antara mereka yang bakal bikin monumen khusus untuk mengenang guru - guru mereka.

Jadi inget, gua terharu banget waktu reuni SD kemarin. Di saat kami, para mantan muridnya, sudah banyak yang sukses, beberapa di antara kami malah sudah menyetir mobil sendiri, para guru kami masih datang ke tempat reuni dengan naik angkot atau motor.

So untuk para pembesar di atas, seandainya tulisan ini bisa terdengar, tolong pertimbangkan lagi nasib guru - guru itu. Dihukum sih boleh aja, tapi janganlah sampai membuat mereka kehilangan mata pencarian. Percaya deh, gak ada untungnya bagi negara ini klo guru - guru memutuskan untuk memboikot dan di masa depannya gak ada orang yang mau jadi guru.