Sunday, June 8, 2014

A Note To Daddy : Taj Mahal


Dulu....di suatu waktu yang sudah lama berlalu...
 
"Tapi aku masih gak ngerti di mana kerennya Taj Mahal, Pi. Masih banyak mesjid yang lebih bagus dari itu." Si gadis kecil sedang belajar tentang 7 keajaiban dunia. Sang ayah menjelaskan masing-masing tenpat tersebut kepadanya sambil menunjukkan gambar. Dia sih bisa ngerti kenapa Menara Pisa ato taman gantung masuk keajaiban. Tapi Taj Mahal? Bentuknya kayak masjid biasa.

"Itu makam lho. Makam ratu Mumtaz yang dibikin sama suaminya, Shah Jahan."

"Makam yang bentuknya kayak masjid? Ehm...tetap biasa aja ah."

"Biasa? itu gede banget untuk makam, Wi. Kamu mesti liat langsung Taj Mahal buat ngerti apa kerennya. Gak keliatan sih di foto ini, tapi kalo kamu liat dari dekat baru kagum. Di dinding Taj Mahal tuh banyak ukiran bunga warna warni. Dan bunga itu bukan dilukis. Warna-warnanya tuh dari batu permata yang diukir setipis daun dan bunga. Dan tau gak kamu, batu permatanya diimpor dari 7 negara lho."

Daya khayal gadis kecil tetap belum nyampe membayangkan sekeren apa itu. "Segitu bagusnya emang, Pi?" tanyanya sangsi.

"Iya. Papi ampe dua kali lho ke Taj Mahal. Abis ke sana, besoknya balik lagi."  Sang ayah memang pernah tugas setahun ke Bombay. Dan beliau sempat keliling India waktu itu.

"Kalo udah 2x ke sana, nanti yang ke-3 mo ngapain dong, Pi?"

"Yang ketiga kali sih maunya pergi sama mami. Mau makan nasi timbel di depan Taj Mahal."

Si gadis kecil bengong. "Kok nasi timbel?"

"Tahu gak, Taj Mahal itu cara Shah Jahan nunjukkin ke istrinya kalo dia cinta. Papi juga sayang sama Mami. Tapi Papi sih gak bisa bikin yang kayak Taj Mahal buat buktiin. Jadi Papi mau ngajak mami-mu makan nasi timbel aja di depan Taj Mahal. Bahan-bahannya nanti dibawa dari 7 tempat. Tuh kan...kurang sayang apa coba, Papi. Niat banget kan bawa-bawa bahan nasi timbel ke India? Papi masak sendiri lagi," jelas sang ayah bersemangat.

"Eng...ter...terserah aja deh, Pi." Si gadis kecil speechless, masih bingung dengan cita-cita sang ayah yang absurd.

April 2013...

Ini gerbangnya Taj Mahal sih. Sadly...gak ada foto kami berdua depan Taj.
Halo, Pap. Akhirnya saya nyampe ke Taj Mahal bareng mami lho. Sayang Papi udah gak bisa ikut. Tapi Papi pasti ikutan ngelihat kan?
Dan maaf ya, Pap. Akhirnya saya gak bisa makan nasi timbel bareng mami depan Taj Mahal. Bener kata Papi, gak gampang bawa bahan-bahannya ke India. Apalagi bahannya harus dari 7 tempat. Mungkin memang cinta sebesar Papi ke Mami yang sanggup mewujudkannya.

Ya sudahlah. Mudah-mudahan kapan-kapan ada kesempatan lain ke sana ya, Pi.

Oh iya...Papi juga bener. Ukiran daun dan bunga di dinding Taj Mahal itu emang magnificent.  Maaf karena dulu sudah skeptis sama promosi Papi. :)
Terima kasih sudah memberi tahu dan kemudian meyakinkan saya bahwa Taj Mahal layak dikunjungi, Pi. Layak banget memang.

Ini lho ukiran yang dimaksud. Liat warna merahnya? Itu dari batu ruby persia. Yang hijau dari batu giok Tiongkok dan kuning dari topaz.


A Note To Dad : Cappadocia



(Many years down the road...) 

The little girl stared in awe at the picture that her dad showed her. "Wow...this hot balloon ride looks fun, dad. Can we try it?" 
"We can't right now. Coz this one is in Cappadocia. Very far from Jakarta," her dad said. 
"How far? Can we go tomorrow? Or if this place is too far, how about we took the one in Jakarta?"
"But there's no hot balloon ride in Jakarta. And if there's one, it won't be as beautiful as this one. See...there are many hot balloon like this. But the one in Cappadocia is the most beautiful. Too bad I can't take you there. It's so far and expensive." 
"Oh okay. If you said so." That little girl finally conceded. She knows her dad so well. He's the kind of father who would do everything in his power to fulfill his children's wishes. So she knew if her father said he can't take her, that means he really and truly can't.
 "Let's make a deal then. I'm gonna earn some money to take you there. But you have to keep your good grades." 
"Really? You're gonna take me there someday? And to England, Mekkah and India too?" Little girl asked excitedly.
"Sure. As long as you keep your end of the deal."
"Okay. Deal!" And they sealed that with pinky promise. 

Many years later...
She's in Cappadocia, took that hot balloon ride. Without her dad. 'Hey Dad, can you see this from up there? It is indeed beautiful. Thank you for telling me about this and give me this dream to pursue. Miss you.'

Saturday, May 31, 2014

Janji Kepada Ayah

Blackbird singing in the dead of night...
Take these broken wings and learn to fly...

Gadis kecil itu memang belum tidur. Dia masih asyik membaca mumpung besok hari minggu.
Sewaktu mendengar lantunan suara itu dia langsung berdiri, melangkah ke ruang musik sambil membawa novel yang tengah dibaca.

Pemandangan yang menyambutnya adalah pemandangan lazim saat larut malam di rumahnya : Sang ayah sedang bermain piano sambil bernyanyi.
Sang ayah adalah seorang pria introvert yang menyukai keheningan dan ketenangan. Beliau bisa meng-handle suasana riuh dengan baik, bisa bersosialisasi dengan orang banyak, namun toh...pada akhir hari, beliau butuh keheningan. Tapi pekerjaan beliau yang sibuk dan penuh tekanan jelas jauh dari suasana tenang. Karenanya setiap malam saat sudah larut dan ke-3 anaknya sudah terlelap, beliau suka bermain piano untuk melepas lelah dan men-charge lagi semangatnya untuk esok hari.

Tentu saja, saat itu si gadis kecil gak ngerti soal kebutuhan sang ayah akan ketenangan. Yang dia tahu, ayah hobi bermain piano sambil bernyanyi. Beliau bilang itu caranya buat bersenang-senang.
Berhubung si gadis kecil tipe yang suka begadang, dia biasanya masih terjaga saat ayahnya mulai bermain. Karena itu dia suka ke ruang musik mendengarkan ayahnya bermain sementara dia tidur-tiduran di sofa.

Ini merupakan waktu favorit gadis kecil itu setiap malam. Terkadang, saat selesai bermain piano maka sang ayah akan menemaninya hingga tertidur sambil menceritakan kisah mitologi dan legenda sebagai dongeng pengantar tidur. Kadang, yang paling serin terjadi, dia ketiduran di sofa dan suara sang ayah akan menjadi lullaby-nya.
Sering juga saat weekend, setelah bermain piano ayah akan memasakkan mie rebus untuk mereka berdua lengkap dengan telur, sawi dan kornet. Ditemani segelas cokelat dingin, mereka akan menyantap mie rebus dan ngobrol sampe subuh tentang apapun dan siapa pun. Kadang dia bertanya tentang makna lagu yang dinyanyikan sang ayah, atau tentang penyanyi yang lagunya sering dinyanyikan ayah. Tapi topik favoritnya adalah saat sang ayah bercerita tentang tempat-tempat lain di dunia dan mimpinya untuk berkunjung ke sana.

Malam itu, dia merasa tertarik dengan lagu yang berulang kali dinyanyikan sang ayah. Dia kenal karena sang ayah sangat sering memainkan lagu ini. Walau belum pernah lebih dari sekali dalam satu malam seperti yang dilakukan beliau sekarang. Dan dia tertarik mencari tahu tentang lagu ini.

"Pi, lagu yang ada blackbird-nya yang tadi Papi nyanyiin terus itu tentang apa sih?" tanya si gadis kecil sambil meniup mie kuah-nya agar tak terlalu panas.

"Oh...Itu lagunya Beatles. Black bird itu artinya burung hitam. Jadi ceritanya ada burung hitam yang pengen banget terbang bebas dan Beatles semangatin burung itu supaya berani terbang. Papi juga pengen semangatin burung itu supaya terbang." jawab sang ayah dengan versi singkat.

"Enak ya jadi burung, Pi. Bisa terbang ke mana aja. Kalo Papi bisa terbang kayak burung, Papi bakal ke mana?"

"Coba tebak," jawab sang ayah sambil tersenyum simpul.

"Mekkah dan Turki kan?" Sang ayah dulu pernah bilang kalo beliau mau ke Mekkah karena itu perintah agama dan ke Turki karena di sana bisa naik balon udara yang keren banget.

"Iya...dua tempat itu sih. Tapi Papi juga pengen ke Inggris."

"Inggris? Tempatnya Enid Blyton? Ada apa di sana?" Gadis kecil itu hanya tahu Inggris sebatas yang dia baca di buku-buku Enid Blyton. Berdasarkan buku itu, menurutnya Inggris negara tua yang membosankan. Bayangin saja, anggota 5 sekawan itu gak pernah nonton TV. Negara apaan yang gak ada TVnya? (ya..ya...si gadis kecil gak tahu kalo novel 5 sekawan-nya Blyton ber-setting tahun 1950an). Dia juga tahu Inggris sebatas nama kunci, kecap dan garam. "Papi mau beli kecap atau garam ya di Inggris? Di pasar juga banyak, Pi."

"Yeee....emang kamu kira di Inggris cuma ada kecap sama garam?" balas sang ayah.

"Ya abis mau ngapain lagi?"

"Banyak. Kamu tahu gak kalo bekas rumahnya Enid Blyton masih ada sampai sekarang? Dan sekitarnya dijadiin taman lho," jelas sang ayah bersemangat.

"Taman? Apa bagusnya taman?" reaksi gadis kecil itu malah datar. Ya maklum aja, pengetahuan gadis kecil itu mengenai taman memang terbatas.  Wong satu-satunya taman yang dia tahu cuma taman kecil di kompleks rumah mereka. Taman yang isinya sedikit rumput, papan jungkat-jungkit dan ayunan. Kalo cuma kayak gitu, kenapa harus ke Inggris?

"Oh taman yang ini beda. Di sana ada bunga-bunga cantiik banget. Bayangin kamu pergi ke sana musim gugur waktu daun-daunnya warna kuning. Terus ada bunga merah, pink, putih. Bagus kan? Nanti Papi cariin gambarnya buat kamu. Dan Dan kamu bisa minum teh dan makan kue-kue ala Inggris di bekas rumahnya Enid Blyton lho," urai sang ayah panjang lebar.

"Wow!" She was sold to the idea of drinking tea and tasting some English snack. Yeah...she loveess cakes and pastries.

"Terus ya di Inggris ada museumnya Sherlock Holmes lho. Lokasinya di tempat yang sering dibilang rumahnya Sherlock," sang ayah masih cerita kelebihan Inggris.

"Sherlock yang suka pake topi lucu itu?" Si gadis kecil baru kenal Sherlock sebatas topi dan pipa cangklong yang khas. Itu pun karena dia sering melihat poster si detektif di kamar kerja sang ayah. Poster berlatar belakang jalanan gelap dan siluet si detektif sedang membungkuk dengan seragam kebesarannya sambil mencangklong pipa dan memegang kaca pembesar itu salah satu favoritnya. Dia suka dengan aura misterius di gambar itu.
"Di museum Sherlock bisa ngapain, Pi? Ada pipa cangklongnya juga?"  Gadis kecil itu memang sangat suka bermain dengan pipa cangklong koleksi sang ayah. Konon, sang ayah dulu perokok berat yang ngerokoknya pake tembakau. Tapi sejak putra pertamanya lahir, beliau sudah meninggalkan kebiasaan itu. Kini beliau hanya mengoleksi berbagai macam pipa cangklong walau tak pernah digunakan.

"Hahaha....aneh-aneh aja kamu nanyanya," tawa sang ayah sambil mengacak rambut si gadis. "Gak ada sih. Tapi kan di sana ada patung lilinnya Sherlock, ada miniatur kamar, laboratorium. Bisa foto-foto. Papi penasaran deh pengen liat. Terus di Inggris ada Liverpool lhoo. Bisa main ke stadionnya di Anfield. Di Liverpool juga ada stasiun yang..."

Sang ayah masih terus semangat membahas Liverpool sementara si gadis cuma senyum maklum aja. Ayahnya memang penggemar berat klub Liverpool. Beliau selalu mengajak -oke, sebenarnya memaksa- anak-anaknya untuk menemani beliau nonton bola kalo ada pertandingan Liverpool yang ditayangkan di TV. Sang ayah berharap dengan seringnya mereka terpapar Liverpool, ketiga anaknya akan jadi fans Liverpool juga. Sayang sampai saat itu usahanya belum berhasil juga.

"Di Inggris juga ada penjaga istana yang bajunya unik lho. Itu yang topinya tinggi kayak di gambar kaleng biskuit Monde," sang ayah mengubah pembicaraan demi dilihatnya si gadis kecil mulai bosan.

"Yang topinya tinggi hitam? Wah...aku sukaaa sama topi itu. Kayak ada bulunya." Mata gadis kecil itu berbinar.

"Nah iya yang itu. Tapi alasan utama banget Papi mau ke Inggris sih karena Beatles dari sana."

"Bitels yang nyanyi Blackbird tadi, Pi?"

"Iya Beatles yang itu. Yang juga nyanyiin lagu Jude yang kamu suka itu. Papi pengen ke Abbey Road, terus foto dengan gaya kayak gitu," ujar sang ayah sambil menunjuk poster besar di atas piano. Poster bergambar empat orang pria sedang menyeberang jalan.

"Apa bagusnya jalanan itu, Pi? Kayak jalanan biasa."

"Hus...sembarangan! Itu Abbey road tahu gak. Terkenal banget. Pokoknya Papi pengen ke sana dan foto sambil nyebrang jalan."

"Tapi itu di foto ada empat orang. Kalo sendiri kan gak mirip dong nanti."

"Siapa bilang Papi mau foto sendirian? Kan maunya sama kamu, kakak dan adikmu."

"Eh? Beneran? Aku diajak, Pi?" Gadis kecil itu langsung bersemangat. Walau pun awalnya gak tertarik dengan Inggris, tapi dia selalu senang berwisata ke mana pun.

"Ya iya dong. Mana enak jalan sendirian? Lagian Papi mah selalu mimpi mau ke Inggris ajak orang-orang yang paling Papi sayang." Sang ayah memeluk sekilas gadis kecilnya.

"Asyik. Kapan kita bisa ke Inggris? Besok ya? Atau sabtu aja, Pi. Biar bisa nginap. Pulangnya hari minggu malam aja kayak waktu ke Bandung kemarin."

"Ya gak bisa dong. Inggris itu jauh. Jauh banget. Gak bisa cuma nginap semalam aja. Lagian mahal ke sananya." Sang ayah ketawa melihat antusiasme si gadis.

"Jauh banget ya, Pi? Lebih jauh dari Mekkah dan Turki?" Demi melihat anggukan sang ayah, gadis kecil itu langsung lemas. "Yaaa...kalo gitu kapan dong bisa ke Inggris?"

Sang ayah mengangkat dagu si gadis kecil. "Hey...jangan kecewa gitu. Papi belum tahu kapan bisa bawa kalian ke Inggris. Tapi Papi janji bakal usaha sekerasnya buat itu. Cari duit sebanyak-banyaknya, kerja lebih keras lagi supaya kita bisa ke Inggris. Asal kamu janji bakal bantu usaha Papi dengan doa. Dan rajin belajar supaya nilai kamu selalu bagus dan Papi semangat. Setuju?" bujuk sang ayah sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

Gadis kecil itu tahu sang ayah selalu berusaha keras menepati janji. Kata beliau, orang itu dinilai dari gimana dia menjaga janji. Karena itu, dia yakin ayahnya serius. "Setuju," jawabnya sambil mengaitkan jari kelingkingnya dengan sang ayah.

"Nah gitu dong. Sekarang...kamu udah sholat Isya belum?" Demi melihat si gadis kecil menggeleng, ayahnya pun melanjutkan : "Sekarang kamu sholat ya. Abis itu tidur. Udah malam banget ini."

"Tapi papi lanjut main piano ya. Nyanyiin lagu Blackbird."

Ada satu doa yang diterbangkan ke langit malam itu. Doa yang dilepas si gadis kecil sebelum dia tertidur diiringi suara bariton sang ayah.

Blackbird fly Blackbird fly
Into the light of the dark black night.

===============================================

Kisah di atas sudah 20 tahun yang lalu namun saya masih bisa mengingat setiap detailnya dengan jelas. Suara bariton ayah, permainan piano beliau, bahkan bagaimana aroma dan rasa mie kuah berpadu dengan susu cokelat dingin pun masih jelas di memori.

Saya juga masih ingat, esok paginya saya mencari empat buah kaleng bekas permen dan melabeli masing-masing kaleng dengan tulisan "Mekkah", "Turki", "Inggris" dan "Buku". Dan sejak itu, saya membagi rata sisa uang jajan ke dalam empat kaleng tersebut. Saya dapat ide menabung itu karena teringat salah satu cerpen milik Enid Blyton. Kalo bisa membantu ayah, kenapa nggak?

Sampai sekarang saya masih meneruskan kebiasaan tersebut, walaupun wadah tabungan sudah bukan kaleng permen lagi.  Sayangnya sampe sekarang pun dananya belum terkumpul >.< Adaaa aja kebutuhan lain yang membuat tabungan itu harus dikuras dan ulang menabung dari awal.

Walau pun saldo tabungan gak berbeda, ada hal-hal lain yang berbeda.
Contohnya sekarang saya tahu kenapa ayah suka banget dengan lagu Blackbird. Rupanya lagu itu mengingatkan beliau pada sahabat-sahabatnya yang aktivis dan dikejar pemerintah dahulu. Mereka mengistilahkan diri sebagai 'blackbird'. Dan malam saat ayah menyanyikan Blackbird berulang kali adalah malam saat ayah mendapat kabar satu lagi sahabatnya yang menghilang.

Saya juga tahu kalo gambar di kaleng biskuit Monde itu bukan tentara Inggris, tapi tentara Denmark walau pun bajunya mirip.
Saya juga jadi suka banget sama Sherlock Holmes. Saya mewarisi fanatisme ayah pada detektif tersebut sampai membaca semua novel menyangkut dia, walaupun bukan Arthur Conan Doyle lagi yang menulisnya.

Tapi perbedaan yang paling kerasa adalah kepergian ayah sepuluh tahun yang lalu. My blackbird had flown into the dark black night. Sampai akhir beliau belum sempat mengajak kami ke Inggris walau pun saya tahu beliau telah berusaha semaksimal mungkin. Bahkan setelah beliau meninggal, ibu bercerita kalo ayah punya rekening tabungan khusus yang dipersiapkan sebagai dana agar kami sekeluarga bisa ke Eropa. Gak tanggung-tanggung, beliau merencanakan libur sebulan di benua itu.

Sewaktu mendengar cerita ibu, saya melepas satu lagi doa ke angkasa. Doa agar saya bisa mewujudkan mimpi ayah. Saya bertekad akan menapaki satu per satu mimpi beliau. Apa yang gak sempat beliau lakukan, akan saya lakukan. Sholat di mesjid biru dan naik balon udara di Turki, kibarin bendera merah putih di Eiffel (ya...itu salah satu mimpi lama ayah) sampai ke Inggris (Alhamdulillah beliau sudah sempat ke Makkah).

Hai, Pi. Suatu saat saya bakal menjejakkan kaki di Abbey Road, berfoto sesuai rencanamu dan memainkan rekaman permainan piano Papi sambil menyenandungkan Blackbird.
I promise I'm gonna do this someday or die trying :)


Monday, May 26, 2014

Pertemuan Di Sebuah Senja


Nyanyian camar di langit senja menarik perhatian saya yang sedari tadi khusyuk (taelah khusyuk!) memperhatikan candaan ombak. Dengan tatapan iri, saya melirik para camar yang terbang teratur ke arah Selatan berlatar belakang mentari yang beranjak pelan.

Ah betapa irinya saya. Mentari dan para camar itu sudah bisa pulang dengan tenang ke sarang mereka. Saya? Masih saja termangu di pantai karena gagal menemukan solusi untuk masalah saya saat ini.

Ya...saya memang ke pantai ini untuk mencari jawab atas sebuah tanya yang bersarang di hati. Dan seperti biasa, pantai adalah lokasi favorit untuk menyepi, merenung, berkontemplasi sekaligus mencari jodoh #eh.

Ada sesuatu yang magis dari suara debur ombak bercampur dengan kuakan camar yang bisa melesapkan resah. Aroma garam bercampur dengan amisnya ikan dan harumnya pohon kelapa (yakali!) selalu bisa merangsang otak untuk mencari jalan keluar dari setiap masalah yang saya bawa ke sini. Ya pantai memang punya caranya sendiri untuk memberi solusi.

"Kecuali hari ini..."
Sambil menghela napas, saya menatap pasrah para nelayan yang bersiap melaut, pertanda saya harus segera pulang. Secinta apapun pada pantai, saya tak bisa menghabiskan waktu lebih lama di sini. Pertama karena nyamuk Anopheles akan segera keluar saat senja memudar (dan saya lupa bawa Autan). Kedua (dan ini yang paling penting) stok cemilan yang kubawa sudah berkurang drastis (halah).

Saya mengambil sebungkus gorengan (satu-satunya stok cemilan yang tersisa) sebelum menghampiri laut. Saya berniat merendam kaki barang sejenak di bawah siraman mentari senja sambil...makan gorengan (penting abis!). Setelah berjalan hingga air laut mencapai ketinggian selutut, barulah saya sadar kalo ini ide  buruk. Soalnya saya lupa bawa celana panjang cadangan dan lupa keluarin handphone di saku celana. Yaa...air lautnya emang cuma selutut sih, tapi kalo ada ombak menyambar maka dadah deh ke si handphone.

Tengah berpikir sebaiknya kembali ke tepian untuk menyimpan handphone di tas ato memasrahkan aja nasib si gadget tercinta itu kepada takdir #tsah, tiba-tiba saya merasakan dorongan keras dari sebelah kiri. Berhubung refleks saya parah, maka jatuh deh si hp sayang ke laut (ya masa' ke kuah soto). "JURIG! Itu handphone gw jatoh!" teriak saya kesal ke arah kiri.

Dari posisi berdiri bisa saya lihat ada kepala berambut cokelat sedang bersembunyi di balik batu karang besar. Jurig-siapapun-itu yang tadi menabrak saya pasti sedang ngumpet di sana setelah sukses menyenggol kaki saya waktu sedang berenang. Dengan dongkol saya menghampiri jurig-siapapun-itu sambil protes : "Kok ngumpet sih? Mending loe pikir gimana caranya ganti handphone gw ato gw bersumpah DEMI TUHAAANNN..." *bumi langsung gonjang ganjing, Everest memuntahkan laharnya, Arya Wiguna terjengkang, Zeus tersedak dan Anang terkapar* #KenapaAdaAnang

Tapi teriakan saya terhenti disitu. Saya terpana saat melihat sosok jurig-siapapun-itu. Soalnya...emang dia mirip jurig sih (.___.) . Rambutnya acak-acakan dan yang lebih aneh lagi adalah wajahnya yang seperti perpaduan ikan dan manusia tapi ganteeengggg (nah lho...bingung kan? :p)
Saat jurig-siapapun-itu bergerak ke arah saya, barulah saya nyadar kalo ada sirip ikan besar di bagian bawah tubuhnya. Ternyata dia manusia duyung sodara-sodarah! Iyaa...makhluk setengah manusia setengah duyung itu.

Dan okeh...sekarang gantian saya yang jiper. Saya berusaha lari tapi apa daya,si manusia duyung lebih cepat. Dan dia langsung bersuara semacam "Eeeee..." sambil menunjuk plastik gorengan di tangan saya.
"Eh? Do you want this?' tanya saya sembari mengayunkan bungkus gorengan.

"eeeeeeee....."

Hah? Maksudnya apa sih? "Do you want this?" Dia hanya menatap saya. "Eng...ale mau ini makanankah?" Dan si manusia duyung pun mengangguk gembira. Duile...ternyata dia bisanya bahasa ambon toh.

Tapi berhubung saya males berdebat, saya bagilah gorengan itu dengan dia. Berdua kami menikmati sebungkus gorengan sambil memandang sunset hingga gorengannya habis dan matahari sudah tenggelam setengahnya.

"Beta pulang dulu e."

"Eeeeee...." teriaknya masih dalam intonasi yang sama.

"Ale kenapakah? Su mo gelap ini. Beta harus pulang dolo."

"Ee..eee..E!" jawab dia sambil menarik tangan saya. Dengan rada bete, saya pun mengikuti dia. Hingga saya sadar dia menarik saya makin dalam ke arah laut.

"Eh nanti dolo. Ale mo kamanakah ini?" MD (disingkat gitu aja lah ya, panggil manusia duyung kepanjangan) menunjukkan tangannya ke arah matahari tenggelam, lalu menunjuk ke bawah.

"Laut? Ale mo ajak beta ke dalam laut?" MD mengangguk sementara saya terpana.

Dia kembali menarik baju saya dan berkata "Eee..eee.." dengan nada Shakira lagi nyanyi lagu Shamina-mina ee itu.
Eng...waduh kumaha ieu. Saya sih pengen banget ikut ke bawah laut. Bisa dibilang sejak nonton Little Mermaid, saya udah kepengen bisa ke bawah laut. Saya pengen ketemu Poseidon, maen sama Flounder & Sebastian temennya Ariel, main tebak-tebakan bego sama Dorry si ikan pengidap short term memory loss, ikut nyanyi bareng para Siren sampe membuat para pelaut tersesat dan bisa pesta seafood sepuasnya (teteeup yang dipikir makanannya dulu).
Dan sejak baca salah satu teori yang bilang kalau Atlantis itu ada di dasar laut, mimpi absurd saya untuk berkelana di dasar laut pun bertambah. Jadi ajakan ini bagaikan pucuk dicinta, eh malah ulam yang datang. Saya mau banget ikut, tapi....
"Lalu bagaimana beta bisa bernapas dalam air?"

Secara ajaib, MD mengeluarkan segumpal tanaman berwarna hijau yang keliatan seperti ekor tikus bergumpal. Dia menyerahkan tanaman itu ke telapak tangan saya. "Oh....ini mah gillyweed, tanaman yang dipake Harry buat bernapas dalam air," gumam saya.


"Tapi beta bisa pulang kah nanti?" Saya masih ragu nih.

"Ee...yee..yeee...yeyeyeye," jawab MD lagi dengan nada lagu Cantik-nya Kahitna.

Hadoh...apa pula artinya itu? Saya udah nekat aja mo ikut, masalah pulang mah kumaha engke lah. Tapi...saya keingat cerita Urashima Taro. Gimana kalo saya kembali ke darat nanti ternyata waktu udah berlalu ratusan tahun? Artinya saya gak ketemu ibu saya selama itu juga dong. Trus saya juga gak tau siapa presiden pemenang pemilu, gak bisa nonton endingnya Doraemon (kalo ada), gak kelar baca novelnya Game of Thrones, gak bisa menikmati buku kacrut lagi (eh..ada yang bisa delivery buku ampe ke bawah laut gak?) dan yang paling penting nih : "Saya gak bisa makan gorengan lagi dong!" #pentingabis

"Ee-e-e-um-um-a-weh," katanya lagi dengan nada lagu The Lion Sleeps Tonight. Gestur dan ekspresinya memnta saya untuk bergegas.

"Beta seng bisa ikut ale. Tagal beta balom izin dengan beta pung Mama. Nanti angtoa cari Beta wa. Beta seng mau jadi anak durhaka. Nanti beta dikutuk jadi batu saparti Malin Kundang. Wah bahaya tuh. Beta seng bisa lai makan gorengan di pinggir pantai berdua Channing Tatum."(emang pernah?) Saya memberi alasan dengan ekspresi menyesal.

"Wimoweh, wimoweh, wimoweh, wimoweh,"jawabnya. Saya tetap menggelengkan kepala. Akhirnya dia pun melepaskan saya dan berenang ke arah Barat.
Saya menatap kepergiannya dengan menyesal. Seandainya aja saya ngerti omongan dia tadi. Siapa tahu aja dia kasi tahu kalo saya bisa balik ke darat dan tidak akan berakhir seperti Urashima Taro. Kan jadinya saya bisa jalan-jalan di bawah laut sambil mencari Atlantis. Syukur-syukur bisa nemu dan nama saya tercatat di wikipedia. #lah
Tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Mending ditambahin ayam dan cakwe aja biar enak (garing ya? iya).

Saya kembali ke pantai dan menatap tumpukan barang-barang yang masih berantakan. Mata saya tertumbuk pada laptop yang masih menyala sedari tadi. Dan saya pun kembali diingatkan tentang pertanyaan yang membawa saya ke pantai ini.
 
"Hmmm...kayaknya saya udah tahu jawabannya sekarang." Dengan semangat baru, saya hampiri Raffelino (nama laptop saya) dan membuka window baru di browser-nya. Saya mengetikkan satu alamat web tertentu dan...AHA! Saya temukan yang saya cari.
Saya pun kembali ke window yang pertama dan membaca pertanyaan yang terpampang di blog milik rekan saya Melisa @ Surgabukuku :

"Jika kamu berkesempatan mengunjungi toko buku Flourish and Blotts, buku apa yang akan kamu bawa pulang dari sana? Pilih 1 (satu) buku saja! Jangan lupa sertakan alasannya…"

Saya tersenyum puas. Kini saya tahu jawabannya.
Saya ingin buku ini : "Merpeople: A Comprehensive Guide to Their Language and Customs"


Yang di atas itu adult cover version. Kalo saya naksir yang kids cover version ini deh #yakali

 photo my_home_mermaid_by_edit_zps832eeb88.jpg

Supaya kalau bertemu lagi dengan manusia duyung saya bisa berkomunikasi dengan baik. Tadi saya bahkan gak tahu nama dia. Gak sopan banget ya. Itu satu kesalahan yang gak boleh saya ulangi lagi.

Saya pun mulai membereskan bawaan saya yang masih berserakan di atas pasir sambil cengar-cengir puas. Yess....mission accomplished!
Tanya di hati sudah terjawab, begitu pun solusi agar bisa berkomunikasi dengan manusia duyung. Saya sudah bertekad, pokoknya sesampainya di rumah nanti, hal pertama yang akan saya lakukan adalah memesan online bukunya Dylan Marwood itu.

Kegiatan saya terhenti saat sebuah hal terbersit di benak.
Saya batal beresin barang-barang dan membuka kembali laptop. Dengan harap-harap cemas, saya menunggu agar terkoneksi dengan jaringan internet.
Setelah tersambung, saya langsung buka laman Google, mengetikkan sebuah kata kunci dan...berakhir kecewa.

Hiks...ternyata Flourish & Blotts gak melayani pembelian buku secara online.
Jangankan beli buku online, wong toko itu malah gak punya website resmi di dunia maya.
Ini artinya saya kudu banget ke Diagon Alley nih biar bisa beli langsung. Dan berhubung saya gak punya bubuk floo atau sapu terbang, satu-satunya cara mencapai Diagon Alley adalah dengan pergi ke London.

Tapi gak papa.
Saya harus usahakan sebisanya supaya bisa nyampe dengan selamat ke London. Karena saya sudah bertekad untuk menguasai bahasa Mer supaya gak terjadi gagap komunikasi lagi. Biar bisa mewujudkan impian kanak-kanak untuk ke bawah laut.

Ayooo,Wi! Semangat usaha ke London biar bisa ke Flourish & Blotts. Fighting! Hooyah!

pic source for :
- sunset
- 1st mermaid, 2nd mermaid 

Sunday, May 25, 2014

Misi : Mencari Hermione

Seperti biasa alarm berbunyi tepat jam 6.15 AM. Tadinya saya masih mau leyeh-leyeh di tempat tidur, toh ini hari Minggu. Tapi kilasan warna langit yang tertangkap lewat celah gorden membatalkan niat saya.
Warna langitnya biru cerah setelah 3 hari terakhir ini hitam dan kelabu terus.

 Dengan semangat, saya meninggalkan tempat tidur yang nyaman dan berjalan ke halaman. Saya sudah kangen banget merasakan sinar mentari pagi yang hangat. Aroma petrichor menyambut saya sesampainya di halaman.
Aaahh...memang bau tanah sehabis hujan itu paling segar ya. Sisa-sisa hujan bercampur embun di rumput membasahi tapak kaki. Namun saya tak peduli. Saya hirup udara segar itu sepuasnya, tak lupa memfoto langit biru beserta matahari yang bersinar malu-malu. Biasa....buat diposting di Instagram nanti.

Kegiatan foto-foto itu terhenti saat kaki saya tersentuh sesuatu. Saat melihat ke bawah, tepat di sebelah pokok mawar, tampak sebuah gumpalan berwarna cokelat berukuran sekitar 50 cm dan berbulu. Waduh...apaan tuh? "Mudah-mudahan bukan bangkai hewan," gumam saya.

Setelah diperiksa, ternyata gumpalan itu adalah seekor burung hantu. Mungkin burung ini tersapu angin kencang dan jatuh. Atau mungkin dia sudah kecapekan terbang hingga tak peduli kalo pun jatuh.

Dia masih bernapas tapi sudah kepayahan. Dari posisi sayap yang aneh, jelas terlihat kalo sayapnya patah. Kasihan....dia pasti kesakitan banget. Saya langsung kembali ke rumah bersama burung tersebut, meletakkannya di tumpukan kain tua lalu menelepon dokter hewan langganan agar segera datang ke rumah.

Sambil menunggu, saya coba membersihkan tanah yang menempel di tubuh burung tersebut. Sewaktu sedang membersihkan burung itulah saya sadar ada gulungan kertas yang terikat di kakinya. Hmm....apaan nih? Apakah burung ini semacam pembawa pesan? Hari gini masih ada yang kirim pesan via burung hantu? Kayak gak kenal teknologi handphone dan email saja.

Gulungan kertas itu sudah kotor, namun tulisan di dalamnya masih terbaca dengan jelas. Dan inilah isinya :

Hi Hermione,

I know you must be surprise for receiving this letter. Well...I surprise myself also for writing it.
The thing is...errmmm...there's something I wanna talk to you (and ask for that matter), but I'm so nervous about it. So Harry suggested me to write it in letter. He said I could try and if you're okay and not offended by what I said, then I could proceed and ask the real question.
I think that's a good idea, so here I am, trying...

What I wanna say is...errr...ehhmm...oh shoot! Why is it so hard, Hermione? I mean, it's you, it's us. It's usually easy for me to say anything I want to you, so this nervousness is killing me. Well not literary kills me since I could still write for now, but you already know that and I'm rambling. Great! ( ps : Harry & Ginny are rolling their eyes at me now).

Okay, so back to topic. This is us, so it should be easy. 
There are many aspects that I like from us. I like that we are so equal. Remember those days when we fought Voldemort alongside Harry? I like how we took turns being more or less prominent in Harry’s fighting, how we took turns being his solution or another source of his headache, but whatever we did, we kicked butts together.

And talk about the equal, ever heard how people comments that we are the opposite attraction kind of thing?  Yeah, that's true.
I mean, we have a very different background with me coming from a pure blood and you're a muggle born, yet here we are on the same page in this world because in the deepest core we are far more alike than unalike.

And it's not only our background which make us different. There's also the fact that we have different approaches to life and problems. For us, it's like you're the head and I'm the heart. And...OUCH! (Ginny just kicked me, she said what I just wrote means that you don't have a heart).

Of course, Ginny's wrong. I don't mean to say that.
What I'm trying to say is, you're the type that, when faced with problems, gonna use your head first, because you're a highly logical person who will look past extraneous detail and perceive things clearly.

While I...well....you know me. More often than not, I let my emotion and heart controlled things for me when I should use my brain first. Thank the Good Lord, I have you who teach me how to use my head more often.
See? You equalize me, Hermione.

I also like our bickering. Wait...scratch that. I love our bickering. I love how you could catch up with my wit and sarcastic comments then answer it with smart and more sarcastic comments. Kinda have to admit that I can't get enough of our banters. No one can push my smart-mouth button the way you do.

So with all that above, it's suffice to say that not only I like us, but I also love us.

And it's not only us that I love. Needless to say, I also love you.
You're intelligent, observant, patient, brave, have a kind heart and...Well, I'm sure you're aware of your capabilities. But what you maybe don't know is your influence on me.
You challenge me in your own way.

Remember our days back in Hogwarts? How I used to ask you to just copy your homework? And you said no. You demanded me (well actually it was me and Harry, but somehow it's not right to bring his name into this. Oh no...I'm rambling again. Sorry).
So...you demanded me to try solving it by myself first. I know the reason you didn't just let me copy them wasn't because you're so tight to the rules. But because somehow, you knew that I could do it on my own if only I tried harder. You trusted me back then, and you still continue to trust me until now.
And your trust has challenged me. Because of that, I'm willing to try harder and be better.

And you also inspire me. How's that, you may ask?
Uhm...here's the back story :
See...it's widely known that you have a vast knowledge in wizarding world. But what's with knowledge about another things? Things outside wizarding, I mean.
So I got this inspiration to find out any interesting facts about random subjects. I even used encyclopedia to find them.

Okay...I'm sure you know it's a bullshit. Me and encyclopedia?Yeah...pffttt.
I used the internet though (Dean taught me how to use it). And wow...it's a very smart and helpfull tools. I know I used to laugh at some of Muggle's invention coz it's so silly, but not this internet thingy. It's so much easier to just type in some words rather than open a thick encyclopedia and flipping through its pages one by one, don't you think?
(PS : Harry just said I'm rambling again. Sorry)

So...here's what I found :
  • Did you know that cats spend 70% of their lives asleep? (PS :You might wanna go check the sleep pattern of your cat. If it doesn't sleep enough, you better do something about that. You're welcome by the way).
  • Did you know that taking a short nap after learning something new can actually help your memory? (PS : See... now you know why I always try to get a nap after school-time. To help my memory, what else?)
  • Did you know that there's this study titled "The Effect of Peanut Butter on The Rotation of The Earth"? It's a study co-authored by hundreds of physicists and the result is only one sentence long : "So far as we can determine, peanut butter has no effect on the rotation of the earth". (PS : Duh...what kind of research is that? See...not all research is great. So uhm...you might wanna tone down your interest on research a bit now. Just a suggestion.)
  • Did you know that Apple app store once sold an "I Am Rich" application which cost $999.99 to purchase and the app did nothing? (PS : Well I don't know what Apple app store is, but this information's funny though.)
  • Did you know that in Germany it's not illegal to try to escape from prison because it's basic human instinct to be free?  (PS : Wow...I've never been this happy knowing Azkaban isn't on Germany.)
  • Did you know that calling 1(781) 452-4077 will actually put you through to the Hogwarts Hotline, where you can learn more information about the school?  (PS : Wait...what??? So muggles actually know about us? Yeah...so much for secrecy.)
  • Did you know that fireflies emit light mostly to attract mates? The male firefly will fly, while females will chill out and wait in trees, shrubs or grasses to spot an attractive male. If she finds the one she likes, she’ll signal him with a flash of her own.
So...ehem...with that last piece of fact, comes the most important question and the main reason for this letter :
 "Will you light up your butt for me, Hermione?"
 I mean it for the long haul. Becaue I still have many of these interesting-mind-boggling-but-unimportant facts to tell you and errr...ehmm...because I think we're sort of a forever kind of thing.

Let me rephrase the last question then. Here it is :

"Will you light up your butt for me for as long as we both shall live, Hermione?"






Awww....meleleh baca suratnya :')

Sebenarnya saya gak ngerti sebagian isi surat tersebut. Apa sih muggle itu? Siapa pula Harry, Ginny dan Voldemort? Di mana tuh Hogwarts?
Tapi biar pun banyak yang gak ngerti, surat ini manis banget. Dan sungguh sayang kalo surat ini gak sampai ke tangan Hermione.

Tampak jelas kalo si burung hantu gak akan mampu terbang dulu dalam waktu dekat. Berarti sampai atau tidaknya surat ini ke Hermione tergantung sama saya. Tapi masalahnya....si Hermione itu tinggal di mana?

Sewaktu membalik kertas tersebut, hanya ada empat kata ini :

To : Hermione Granger, London

Wah....London? O.o Jauh banget burung hantu ini sampai nyasar ke Jakarta.
Berarti saya mesti ke sana mencari Hermione Granger yang tinggalnya entah di sudut mana London. Saya sudah mencoba googling dan menemukan banyak entri tentang Hermione Granger di London, tapi gak menyebutkan alamat jelas. Sepertinya saya harus cari di yellow pages-nya London nih.

Baiklah...lebih baik saya segera mempersiapkan dokumen untuk mendaftar visa ke Inggris.
Kalo kamu bertanya kenapa saya mau-maunya repot gini cuma buat ngasih surat ke orang yang saya gak kenal, jawabannya hanya satu : Cinta.
Kalo baca koran atau nonton TV rasanya ada begitu banyak kebencian dan keserakahan di dunia, membuat saya merasa dunia ini sudah mau berakhir. Karenanya selalu menyenangkan saat mengetahui masih ada cinta di dunia yang tulus ini. Dan kalo saya bisa membantu agar cinta selalu ada, jelas akan saya usahakan semaksimal mungkin.
Apa masih perlu alasan lain? ^__^













PS : All that interesting-mind-boggling-but-unimportant-facts can be found here. That piece about firefly is from Firefly.org

A Letter From Hogwarts

Semuanya bermula dari surat yang saya kirim setahun yang lalu :
Jakarta, Januari 2013

Kepada : Profesor Dumbledore
(Order of Merlin, First Class, Grand Sorc., Chf. Warlock, Supreme Mugwump, International Confed. of Wizards)
di
Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry

Dear Profesor,

Saya harap surat ini menemui anda dalam keadaan sehat, santai dan bahagia. Dan harap dicatat kalo ini bukanlah harapan basa-basi karena anda perlu berada dalam kondisi seperti itu untuk menyelesaikan membaca surat saya yang panjang ini.

Jadi gini, Profesor,
Sejak mengetahui tentang Hogwarts dan guru-guru yang mengajar di sana, ada satu hal yang mengusik saya. Tadinya sih saya mau cuekkin saja, namun laksana sakit gigi yang makin mengganggu kalo didiamkan, begitu pula hal yang mengusik ini.  Karena itu, sekarang saya memberanikan diri menulis surat ini kepada anda.

Adapun maksud dari surat ini adalah menyampaikan keinginan saya untuk melamar sebagai guru Sejarah Sihir di Hogwarts.

Saya bisa bayangkan anda pasti bingung atas surat dan lamaran saya ini. Mungkin anda berpikir bahwa saya iseng saja melamar kerja. Dan sangat wajar bila anda meragukan kapabilitas saya sebagai guru.
Tapi biar saya yakinkan anda sejak awal bahwa niat saya amat sangat serius. Berani sumpah atas nama Aslan yang melindungi Narnia tentang ketulusan niat saya. (kenapa bawa-bawa Aslan ya?) Cungguh! Ca oong cih. #MaafAlaynyaKumat

Mengenai motivasi saya untuk melamar, ya...alasan singkatnya karena saya gemas dengan cara mengajar Professor Binns.
Sedangkan alasan lengkapnya... Hmm...seperti yang saya bilang kalo penjelasannya bakal rada panjang, Prof. Tarik nafas dulu ya sebelum baca. *Jangan lupa dikeluarin.*

Jadi gini, Prof : semua yang kenal saya cukup lama pasti tahu kesukaan saya pada sejarah. Saking sukanya, sedari kecil saya bercita-cita jadi arkeolog dan pemakai-jas-putih (seperti profesi saya sekarang). Tentu, waktu kecil saya berpikir akan sanggup menjadi keduanya sekaligus.

Sayang, realita mengajarkan bahwa otak saya tidaklah secanggih itu hingga sanggup menjalani dua profesi yang bertolak belakang secara bersamaan. (Etapi tenang aja, Prof. Saya yakin saya kompeten mengajar murid Hogwarts. Saya udah khatam berkali-kali lho baca A History of Magic-nya Bathilda Bagshot).

Dan sampai lulus SMA, saya masih gak bisa memilih mana  profesi yang lebih saya inginkan. Keduanya sudah diimpikan sejak kecil, keduanya adalah mata pelajaran favorit di sekolah. How could I choose?
Lalu otak saya mencetuskan ide asal : "coba aja daftar dan usaha masuk ke dua fakultas itu dan liat diterima di mana" (yep...memang secuek itu dulu saya menentukan masa depan, Prof).

Maka saya pun mencoba keduanya. Yah...melihat profesi saya, jelas sudah keterima di jurusan yang mana. Meski begitu, kecintaan saya pada sejarah tidak pernah benar-benar padam. Dan karena itulah, saya pengen jadi guru sejarah seperti Profesor Binns.
Kenapa saya maunya mengajar di Hogwarts? Bukan di universitas muggle saja?
Ya karena saya gemas dengan cara mengajar beliau yang dataaaarrrrr hingga pelajaran yang semestinya paling menarik jadi pelajaran paling membosankan.

Sebenarnya, Prof, Ayah itu berperan besar akan kesukaan saya pada sejarah.
Seperti layaknya orang tua jaman dulu, Ayah saya suka menceritakan dongeng-sebelum-tidur pada anak-anaknya.

Bedanya dengan orang tua lain yang bercerita tentang si Kancil atau Bawang Merah & Bawang Putih, Ayah saya suka bercerita tentang sejarah. Mulai dari perang lokal seperti Perang Diponegoro dan Perang Padri, hingga ke level internasional seperti revolusi di Perancis dan Rusia.

Dan cara bercerita Ayah itu seru buanget. Ayah bakal bercerita sambil berlakon dan mengubah-ubah nada suaranya. Sebentar dia menjadi Pangeran Diponegoro, sebentar kemudian dia jadi pihak Belanda, lalu jadi pengikut sang Pangeran, macam-macam lah. Kadang Ibu juga turut berperan dalam lakon cerita Ayah, turut memainkan salah satu karakter. Yang namanya sejarah perjuangan, pastilah panjang untuk dikisahkan. Maka, bila orang tua lain menyelesaikan satu cerita dongeng dalam satu malam, Ayah bisa menyelesaikan satu ceritanya dalam beberapa hari, bahkan pernah hampir satu bulan.

Tapi saya menikmati setiap saat dari proses bercerita Ayah yang panjang itu. Gak pernah sekali pun kami bosan dengan cerita Ayah. Dari situ lah saya mengambil kesimpulan kalau Sejarah bisa jadi pelajaran yang seru.

Nah Profesor Dumbledore, sekarang kita masuk ke alasan saya mengajukan lamaran kerja ini kepada anda (maaf ya kalo preludenya kepanjangan).

Jadi gini, kalo saya keterima kerja di Hogwarts, mestinya Madam JK Rowling akan memberi saya kepandaian sihir juga toh? (saya yakin begitu).
Nah dengan kemampuan sihir, saya bisa menciptakan sesuatu yang lebih seru dari lakon. Dengan sihir, saya bisa menampilkan secara visual adegan sejarah yang akan diajarkan. Saya bisa menggunakan media lukisan yang bergerak misalnya. Dan lukisan ini akan menggambarkan adegan-adegan yang saya jelaskan pada murid-murid.

Lalu untuk menambah seru, beri efek ilusi 4D. Misalnya saat membahas tentang Goblin Rebellions yang katanya "bloody & vicious", ada efek darah muncrat yang ampe kena ke beberapa siswa (tenang Prof, kita bisa pake semacam sari Murtlap yang dikasi bubuk wantek merah), suara jeritan dan lengkingan para korban, angin yang bertiup, kelelawar yang beterbangan #KayaknyaSalahScene.

Yaa...pokoknya semacam itu lah. Paham dong ya, Prof?

Dan untuk memastikan pelajaran yang saya berikan "nempel" di ingatan mereka, saya sih gak bakal kasi mereka tugas bikin esai panjang.
Nope.
Tugas yang akan saya berikan adalah : membuat sebuah plays/drama singkat #eaaa #UjungUjungnyaLakonJuga.

 Jadi saya akan menyuruh para siswa mementaskan lakon yang berupa reka ulang salah satu peristiwa bersejarah yang dimaksud. Kelas bisa dibagi menjadi beberapa kelompok atau proyek yang dikerjakan 1 kelas (tergantung sebesar apa peristiwa sejarahnya). Dan mereka lah yang merancang semua unsur lakonnya, mulai dari dialog, penataan setting hingga pemilihan aktor yang cocok dan kostum yang sesuai.
Dengan cara ini, mereka akan mengingat nama tokoh-tokoh yang terlibat termasuk ucapan para tokoh tersebut.

Tentu saja, akan ada hadiah untuk siswa/kelompok dengan penampilan terbaik.
Dua belas kantong kacang segala rasa Bertie Botts & Dua belas kotak Coklat Kodok mungkin? Apa? Kurang seru?
Gimana dengan sebotol besar Butterbeer kualitas terbaik? Ow...gak suka Butterbeer?

Oke...kalo ijin khusus bermain seharian di Hogsmeade gimana? Ato sebotol kecil ramuan Felix Felicis?
Aaaahhh....tampak menarik bukan?

Jadi gimana, Prof? Setuju kalo pelajaran Sejarah Sihir juga bisa menyenangkan? Minimal lebih menyenangkan daripada kelas Professor Binns?
Ya, saya yakin Anda sependapat.

Jadi Professor Dumbledore, mana burung hantu yang semestinya dikirimkan ke saya? Apa mungkin dia nyasar? Anda gak salah menulis alamat saya kan, Prof? Biar saya tuliskan lagi di sini, jadi anda bisa check ulang :
"In the city where hope grows beautifully,
on the street where jasmine blooms prettily,
the place where Alfa & Bravo meet every 7 am/pm
and together they sing do-mi-do-do'-do"


There you go, Professor Dumbledore. Your owl would find me easily now. I'll wait patiently.

Dan sambil menunggu, saya akan mulai merancang ide-ide berikutnya untuk membuat kelas Sejarah Sihir menjadi seru. Let's make a revolution on History of Magic class. BOOYAHH!!!

Hormat Saya,
signature
(soon-to-be) Profesor asdewi
(soon to be) Teacher of History of Magic class at Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry

PS 1 : Oya Prof, sekadar menghilangkan praduga apa pun, saya tidak berniat mengusir posisi Profesor Binss, apalagi sampai berharap beliau dipecat. Jangan ya, Prof. Tapi saya berharap, mungkin kami bisa berbagi kelas? Seperti yang dilakukan oleh Profesor Trelawney dan Bane?

PS 2 : Uhm....sebenarnya sih gak penting ada PS 2 ini, tapi rasanya tanggung kalo cuma satu. Anu Prof, kapan-kapan boleh pinjem Pensieves-nya? Ada beberapa memory yang perlu dibuang nih, Prof. Seperti memori tentang sebuah kota berkabut dan seorang bermata bulat dengan seny...Ups...kok malah jadi curhat? Hehehe....Maaf, Prof. Jadi boleh pinjam Pensievesnya? Saya yakin boleh ya. #lho

PS 3 : Okay... I should stop making this PS. Have a great day, Prof.
Saya gak pernah mendapat kabar dari Profesor Dumbledore atau siapa pun yang berhubungan dengan Hogwarts. Bahkan saya gak tahu apakah surat saya sampai ke tangan beliau atau nggak.

Jadi bayangkan senangnya saya setelah 1,5 tahun sejak surat itu terkirim, tiba-tiba ada balasan dari Profesor Dumbledore. Beliau hanya mengirim surat singkat seperti ini :
Kepada :  Ms. A.S.Dewi

Sehubungan dengan Profesor Binns yang akan cuti di akhir tahun ini, maka Hogwarts membutuhkan guru pengganti untuk sejarah sihir.

Bila anda menerima posisi guru pengganti, maka anda akan mengajar sampai bulan Juni 2015.

Mengenai ide anda untuk sistem pengajaran baru di kelas Sejarah Sihir bisa kita diskusikan lebih lanjut saat kita bertemu nanti. Begitu juga dengan kontrak kerja anda.

Karena itu apabila anda berkenan, saya menantikan kehadiran anda di Three Broomsticks, Hogsmeade saat daun berwarna kuning dan mulai berguguran. Professor Binns akan memulai cutinya saat salju pertama turun.
Karena itu harap segera mengirimkan jawaban anda.

Terima kasih.

Hormat saya,

Albus Dumbledore

Wow...
Saya sampai baca surat itu berkali-kali demi memastikan kalo saya gak salah baca.
Profesor Dumbledore tertarik mempekerjakan saya. Akk...akhirnya saya bisa menapakkan kaki di Hogwarts.  Dan sekaligus mewujudkan impian saya menjadi guru sejarah.

Karena itu, saya mesti banget ke Inggris nih. Saya belum tahu gimana caranya bisa sampai ke Hogsmeade, tapi itu sih urusan kedua. Yang penting gimana caranya bisa sampai ke Inggris dulu.

Karena di sini ada kesempatan untuk mewujudkan impian lama saya. Dan saya gak akan membiarkannya lewat begitu saja. :)


Friday, May 23, 2014

Yummy Yummy Ala Enid Blyton

Apa kamu punya buku favorit waktu kecil? Buku yang, saking sukanya, kamu baca beulang-ulang sampai tuh buku jadi kucel? Saya punya.
Dan buat saya, itu adalah bukunya Enid Blyton.

 Saya suka kisah fantasi ala Blyton. Di dunia rekaan dia, ada peri-peri kerdil yang hidup di batang pohon sambil merajut daun menjadi mantel, atau pun kursi ajaib yang bisa terbang dan membawa kita kenegeri-negeri di atas awan.
Saya juga suka kisah petualangan-nya Blyton. Petualangan yang disajikan Blyton biasanya cukup rumit dan menegangkan tapi masih masuk akal untuk diselesaikan oleh anak kecil yang jadi tokoh utamany6a. Istilahnya, gak 'over-the-top' gitu.
Pesan yang ingin disampaikan Blyton lewat buku-bukunya juga selalu kena ke saya. Lewat buku-bukunya beliau menekankan pentingnya bersikap sopan, jujur, ksatria, sportif...Pokoknya semua sifat baik yang bisa kamu pikirkan, pasti disinggung di bukunya Blyton.

Tapi yang paling saya suka dari buku-buku Blyton adalah : MAKANAN-nya.
Untuk pembaca buku-buku Blyton, pasti tahu kalo di setiap bukunya selalu ada adegan tea time ato piknik luar ruangan. Dan di semua adegan itu,beliau berbaik hati deskripsiin makanannya apa aja.
Padahal makanan di novelnya Blyton itu kalo dipikir biasa aja. Sering kita temui di keseharian kok. Tapi beliau pinter mendeskripsikannya ampe bikin pembaca (saya) jadi mupeng.
Saking "terpengaruh"nya sama makanan di novel Blyton, saya jadi kepengen banget cobain makanan-makanan itu. Udah cukup deh masa kecil saya dilewati dengan baca novel Lima Sekawan disambi minum sirup Orson sambil bergumam menghibur diri : "Yaaahh....gak bisa minum limun jahe yang ada di  novel Blyton, gak papa deh minum Orson aja. Beda tipislah rasanya." #miris

Makanya begitu kuliner di Jakarta makin beragam dan cemilan-cemilan asing mulai merambah, saya pun memantapkan niat untuk memuaskan ngeces masa kecil saya. Saya ingat, percobaan pertama saya dimulai dari scones yang simpel, tapi bisa dibikin enak kalo udah Blyton yang nulis.
“Hot scones,” said George, lifting the lid off a dish. “I never thought I’d like hot scones on a summer’s day, but these look heavenly. Running with butter! Just how I like them!”
source
Aduh...langsung mupeng dong ya nyari scones hangat bermentega. Ampe saya bela-belain deh nyari cafe yang jual.
Apa saya doyan?  Ehm...gimana yaaa...Ternyata gak seenak yang saya bayangkan.
Bentuk dan rasanya malah ngingetin sama donat strawberi yang dulu dijual di SMP saya. X) Ampe ngebatin : "Kalo scones rasanya kek donat, ngapain sih gw ampe niat nyari?"
Apalagi membayangkan scones panas gitu diminum dengan teh panas dibarengi cuaca Jakarta yang juga panas. Euh >.<

Lalu...apa saya kapok mencoba lagi?
Hohoho....enggak doong. Saya gitu lhoooo! Ditolak masuk Indonesian Idol satu kali sama Anang aja saya gak kapok, apalagi cuma dikecewakan sama scones. (Analoginya gak nyambung sih, tapi biarin aja lah).

Jadi percobaan kedua saya adalah memvisualisasikan (bahasa sok keren tapi gak tepat) adegan ini :
 "The high tea that awaited them was truly magnificent. A huge ham gleaming as pink as Timmy’s tongue; a salad fit for a king...It had in it everything that anyone could possibly want. “Lettuce, tomatoes, onions, radishes, mustard and cress, carrot grated up - that is carrot, isn’t it, Mrs. Penruthlan?” said Dick. “And lashings of hard-boiled eggs.”  
There was an enormous tureen of new potatoes, all gleaming with melted butter, scattered with parsley. There was a big bottle of home-made salad cream. “Look at that cream cheese, too,” marveled Dick, quite overcome. “And that fruit cake. And are those drop-scones, or what? Are we supposed to have something of everything, Mrs Penruthlan?"
Woaaa.....yummy banget. Ham, selada, tomat, wortel, telur! Masih nambah keju leleh, salad cream dan fruit cake pulaaaa. *elus-elus perut*
Saya kesulitan nyari salad persis seperti di deskripsi itu. Akhirnya saya bikin sendiri aja. Agak susah sih nyari home-made salad cream secara krim salad versi di buku itu pasti beda dengan krim salad yang dibikin di rumah saya. Tapi sudahlah....yang penting kan isi saladnya toh.

Jadi setelah niat ngumpulin bahan, saya coba bikin salad seperti di buku. Sayang waktu itu belum jaman foto makanan terus upload di Instagram (yaaa IG juga belum ada sih), jadi saya gak punya bukti percobaan saya. Tapi seenggaknya gambaran salad yang saya bikin waktu itu ya....seperti ini tapi dalam versi lebih ancurlah #eh


Hayooo....pasti ngiler kan liatnya?
Saya juga gitu. Jadi dengan penuh semangat saya geragas deh salad dan fruit cake-nya. Dan ternyata.....ya gitu deh. Rasanya gak beda dengan salad pada umumnya. Saya emang gak doyan sayur mentah sih, jadi gak peduli selengkap apapun salad itu ya rasanya tetap aja makan sayur mentah.
Kalo soal fruit cake...lumayan enak kok. Cake-nya lembut dan lumer di mulut, sayang aja buahnya yang dipake buah kering. Jadi ada sensasi kecut - kecut kenyal gitu deh. Aduh saya tukang protes banget. X)

Meski begitu, saya gak kapok dong. Rasanya percobaan untuk mengkreasikan ulang makanan Blyton gak lengkap kalo gak nyoba piknik outdoor.
Jadi Blyton itu suka banget masukkin adegan piknik di buku-bukunya. Dan bekal piknik yang dibawa itu selalu ngeces-able. Trus diceritakan kalo para tokohnya tuh selalu makan dengan lahap karena "udara luar mempengaruhi selera makan".

Jadi saya pikir, kali aja kemarin-kemarin saya anggap makanan itu gak enak karena suasananya kurang mendukung #halah. Mestinya saya nyoba makan di udara luar, di daerah padang berumput gitu.
Jadi dengan sepenuh niat, saya pun mencari lokasi yang tepat untuk piknik saya. Dan setelah berkontemplasi (halah!), saya pun memilih piknik di....Cibodas.
Yaa...emang bukan padang rumput di Inggris sih, tapi beda tipis mah gak papa kan. #sakarepmu

kiri Cibodas, kanan ilustrasi piknik Lima Sekawan karya Josh Sutton. Source

Dan makanan piknik yang jadi acuan saya tuh adegan yang diambil dari Lima Sekawan buku ke-3 :
"Mereka membuka sekaleng makanan daging, mengiris-iris roti, lalu memakannya dengan nikmat. Sesudah itu mereka membuka sebuah kaleng berisi buah nanas yang segar lalu memakannya pula. Tetapi mereka masih tetap merasa lapar! Karena itu menyusul dua kaleng sarden, yang diambil isinya dengan biskuit sebagai sendok. Benar-benar santapan yang nikmat. Seperti makanan raja-raja!"
Wogh! Mari kita visualisasikan makanan di atas. Yang didapat hasil seperti ini :


Tampak seret ya makanannya. #lho Sebenernya sih saya suka hampir semua jenis makanan di gambar itu. Tapi kalo digabung...eng....ini pengalaman saya :
1. corned beef digabung roti jelas enak. Tapi makan corned beef dingin bukanlah ide tercerdas abad ini.
2. Sepertinya saya alergi nanas kalengan. Selama ini saya baik-baik saja makan nanas segar. Entah kenapa setelah makan nanas kalengan,bibir saya jadi bengkak dan gatal-gatal. Jadinya malah saya sibuk cari obat anti alergi :| (apes amat sih iniiii #nangisketawa).
3. Sarden mentah itu gak enaak!!!! (*0*) Ampe sekarang saya masih eneg kalo mencium bau sarden mentah.

Sejujurnya pengalaman piknik itu rada bikin kapok. Saya jadi gak segitu penasaran lagi sama makanan ala novel Enid Blyton.
Sampe waktu postingan ini muncul di blog teman saya (di mana saat itu saya jadi tamu blognya). Salah satu komen di situ membuat saya sadar kenapa makanan yang saya coba di buku gak seenak aslinya.


Iya juga ya....
Mungkin aja sarden dan daging kalengan versi Inggris beda dengan yang ada di Indonesia. Begitu juga kue-kuenya. Scones itu kan kue khas Inggris. Ya sewajarnya lah kalo scone terenak ya ada di sana.
Dan suasana di perbukitan Inggris pasti beda dengan Cibodas walopun sama aja cantiknya. Mungkin emang bener kali iklim Inggris yang suka hujan nan adem itu bikin selera makan meningkat jauh.

Afternoon tea ala Claridge's
Sudah lama saya pengen ke Inggris (yah...siapa juga yang gak pengen?).
Sebagai fans berat Enid Blyton dan kutu buku sejati, pastilah saya pengen bisa ke bekas rumahnya Enid Blyton yang disebut Old Thatch Garden trus sekalian ke Baker Street 221 B deh (mumpung lagi di Inggris).
Tapi gak sekalipun saya kepikiran untuk nyobain afternoon tea di London. Dan sekarang saya jadi penasaraa. 
Entah nyobain yang di kedai-kedai pinggir jalan atau di tempat-tempat yang disebut sebagai London's Ten Best Afternoon Teas.

Syukur-syukur kalo punya dana lebih jadi bisa nyobain afternoon tea di Claridge's atau The Ritz yang sering banget jadi setting di novel-novelnya Barbara Taylor Bradford (bacaan saya waktu remaja). Emang harganya lumayan banget sih, tapi hey....seperti kata ayah saya : "If you dream, then dream the  biggest or go back to sleep". So I take the biggest dream here :)

Selain pengen nyobain afternoon tea langsung di London, pengen juga nyobain piknik di alam terbuka dengan suasana pedesaan Inggris kayak di Bibury, Castle Combe atau....Edensor sekalian.
Kalo gak bisa ke sana, ya minimal bisa piknik di Hyde Park deh. Yang penting ngerasain piknik dihembusi angin  Inggris #syedaap.

Tapi.....ada tapinya nih, saya gak mau pake teh Inggris untuk acara tea time dan piknik saya ah (nyampe ke Inggrisnya aja belom, kok saya udah ngatur ya? Biarin! Kalo merencanakan mimpi kan kudu sedetil mungkin). Saya udah pernah nyobain beberapa macam teh Twinings kebanggan warga Inggris itu, dan selalu kembali ke kesimpulan yang sama : bahwa saya lebih suka teh Tjong Tji.

Jadi iya....rencana saya emang bakal bawa teh sendiri nanti. Kalo misalnya orang-orang di Claridge's  ntar keberatan nyeduhin teh Tjong Tji untuk saya, ya udah, saya seduh aja sendiri. Pokoknya ngerasain kue ala Inggris itu kudu ditemani teh Tjong Tji.

Bisa minta amin-nya? :)