Friday, October 10, 2008

Dance With My Father

lIt's october again.
Mau gak mau, setiap kali oktober datang, saya akan merasa bittersweet.
Sweet karena saya bersyukur masih bernafas dan bertahan sampai saat ini.
Bitter karena di bulan ini 4 tahun yang lalu, saya kehilangan pria yang paling saya sayang.

Ah...4 tahun sudah berlalu, masih saja terasa ada kekosongan di hati ini. Masih saja air mata terbit tiap kali mengenang beliau.
Sometimes saya berpikir, mungkin dulu itu harusnya saya nangis aja ya. Yang kencang dan deras sekalian. So now I won't weep anymore.
Would it be possible?

Bahkan sampai sekarang pun saya masih menangis mendengar lagu Luther Vandross yang berjudul "Dance With My Father" karena lagu ini "Papi" banget, "kita" banget deh.

Back when I was a child
Before life removed all the innocence
My father would lift me high
And dance with my mother and me and then
Spin me around till I fell asleep
Then up the stairs he would carry me
And I knew for sure I was loved

Do you remember those times, Pi?
Waktu itu I'i masih kecil dan papi terasa begitu tinggi. I'i biasa naik ke atas kaki Papi dan Papi akan sedikit menunduk supaya tinggi kita hampir sejajar (^o^).
Dan kemudian kita akan berdansa diiringi lagu "Bridge Over Trouble Water". Jatah kita hanya 1 lagu itu saja, Pi. Karena Risma dan Mami sudah menunggu giliran di lagu berikutnya.
Sayangnya, seiring dengan pertambahan umur dan (terutama) bobot tubuh, tradisi ini pun berkurang. Photobucket

If I could get another chance
Another walk, another dance with him
I’d play a song that would never, ever end
How I’d love, love, love to dance with my father again

I always wonder, what song would that be, Pi? Photobucket

Ooh, ooh
When I and my mother would disagree
To get my way I would run from her to him
He’d make me laugh just to comfort me, yeah, yeah
Then finally make me do just what my mama said

Photobucket
Ini "Papi banget".
Sampai sekarang, I'i belum tahu sepenuhnya bagaimana cara Papi bisa membujuk kita untuk mengikuti keinginan Mami. Suddenly, kami mendapati bahwa kami sudah melakukan sesuai dengan yang diinginkan Mami. Bagusnya, Mami jadi bisa dibujuk untuk mengikuti keinginan Mami.
Disitulah kami belajar teknik "Mengalah untuk Menang". Walo kata Papi, itu yang namanya "win win solution". (errr.....sebenarnya gak ada bedanya kan, Pi?) Photobucket

Later that night when I was asleep
He left a dollar under my sheet
Never dreamed that he
Would be gone from me

Photobucket
Di samping "a dollar", ada hiburan lain berupa novel ato komik baru kan, Pi?
Ah...saat itu, I'i juga gak pernah bermimpi Papi akan pergi. Semua kenangan bersama Papi memang manis dan menyenangkan. Tapi sekaligus juga pahit untuk dikenang, Pi.

Sometimes I’d listen outside her door
And I’d hear her, mama cryin’ for him
I pray for her even more than me
I pray for her even more than me

Banyak kali Pi, I'i cuma bisa menangis bersamanya dalam diam. Photobucket

I know I’m prayin’ for much too much
But could You send back the only man she loved
I know You don’t do it usually
But Lord, she’s dyin’ to dance with my father again
Every night I fall asleep
And this is all I ever dream

Ah Papi, masih begitu dikenang dan dirindukan oleh kami.
Katanya sih, kita gak boleh terus mengenang mereka yang sudah "pergi" dari hidup kita. Karena katanya, itu berarti kita gak ikhlas. Dan kalo kita gak ikhlas, mereka gak akan tenang di alam sana.
Photobucket
Tapi I'i gak ngerti, bagaimana caranya kita gak mengenang orang yang kita sayangi?
Dan kata siapa dengan mengenangnya terus, berarti kita gak ikhlas?
Saya sudah bisa mengikhlaskan kepergian Papi kok.
Karena saya selalu berdoa kepada Allah SWT untuk diberikan yang terbaik kepada saya dan orang - orang di sekitar saya.
Karenanya saya percaya, kepergian Papi adalah yang terbaik untuk semuanya termasuk untuk Papi.
Begitu kan, Pi?
Photobucket

0 comments:

Post a Comment