Saturday, May 31, 2014

Janji Kepada Ayah

Blackbird singing in the dead of night...
Take these broken wings and learn to fly...

Gadis kecil itu memang belum tidur. Dia masih asyik membaca mumpung besok hari minggu.
Sewaktu mendengar lantunan suara itu dia langsung berdiri, melangkah ke ruang musik sambil membawa novel yang tengah dibaca.

Pemandangan yang menyambutnya adalah pemandangan lazim saat larut malam di rumahnya : Sang ayah sedang bermain piano sambil bernyanyi.
Sang ayah adalah seorang pria introvert yang menyukai keheningan dan ketenangan. Beliau bisa meng-handle suasana riuh dengan baik, bisa bersosialisasi dengan orang banyak, namun toh...pada akhir hari, beliau butuh keheningan. Tapi pekerjaan beliau yang sibuk dan penuh tekanan jelas jauh dari suasana tenang. Karenanya setiap malam saat sudah larut dan ke-3 anaknya sudah terlelap, beliau suka bermain piano untuk melepas lelah dan men-charge lagi semangatnya untuk esok hari.

Tentu saja, saat itu si gadis kecil gak ngerti soal kebutuhan sang ayah akan ketenangan. Yang dia tahu, ayah hobi bermain piano sambil bernyanyi. Beliau bilang itu caranya buat bersenang-senang.
Berhubung si gadis kecil tipe yang suka begadang, dia biasanya masih terjaga saat ayahnya mulai bermain. Karena itu dia suka ke ruang musik mendengarkan ayahnya bermain sementara dia tidur-tiduran di sofa.

Ini merupakan waktu favorit gadis kecil itu setiap malam. Terkadang, saat selesai bermain piano maka sang ayah akan menemaninya hingga tertidur sambil menceritakan kisah mitologi dan legenda sebagai dongeng pengantar tidur. Kadang, yang paling serin terjadi, dia ketiduran di sofa dan suara sang ayah akan menjadi lullaby-nya.
Sering juga saat weekend, setelah bermain piano ayah akan memasakkan mie rebus untuk mereka berdua lengkap dengan telur, sawi dan kornet. Ditemani segelas cokelat dingin, mereka akan menyantap mie rebus dan ngobrol sampe subuh tentang apapun dan siapa pun. Kadang dia bertanya tentang makna lagu yang dinyanyikan sang ayah, atau tentang penyanyi yang lagunya sering dinyanyikan ayah. Tapi topik favoritnya adalah saat sang ayah bercerita tentang tempat-tempat lain di dunia dan mimpinya untuk berkunjung ke sana.

Malam itu, dia merasa tertarik dengan lagu yang berulang kali dinyanyikan sang ayah. Dia kenal karena sang ayah sangat sering memainkan lagu ini. Walau belum pernah lebih dari sekali dalam satu malam seperti yang dilakukan beliau sekarang. Dan dia tertarik mencari tahu tentang lagu ini.

"Pi, lagu yang ada blackbird-nya yang tadi Papi nyanyiin terus itu tentang apa sih?" tanya si gadis kecil sambil meniup mie kuah-nya agar tak terlalu panas.

"Oh...Itu lagunya Beatles. Black bird itu artinya burung hitam. Jadi ceritanya ada burung hitam yang pengen banget terbang bebas dan Beatles semangatin burung itu supaya berani terbang. Papi juga pengen semangatin burung itu supaya terbang." jawab sang ayah dengan versi singkat.

"Enak ya jadi burung, Pi. Bisa terbang ke mana aja. Kalo Papi bisa terbang kayak burung, Papi bakal ke mana?"

"Coba tebak," jawab sang ayah sambil tersenyum simpul.

"Mekkah dan Turki kan?" Sang ayah dulu pernah bilang kalo beliau mau ke Mekkah karena itu perintah agama dan ke Turki karena di sana bisa naik balon udara yang keren banget.

"Iya...dua tempat itu sih. Tapi Papi juga pengen ke Inggris."

"Inggris? Tempatnya Enid Blyton? Ada apa di sana?" Gadis kecil itu hanya tahu Inggris sebatas yang dia baca di buku-buku Enid Blyton. Berdasarkan buku itu, menurutnya Inggris negara tua yang membosankan. Bayangin saja, anggota 5 sekawan itu gak pernah nonton TV. Negara apaan yang gak ada TVnya? (ya..ya...si gadis kecil gak tahu kalo novel 5 sekawan-nya Blyton ber-setting tahun 1950an). Dia juga tahu Inggris sebatas nama kunci, kecap dan garam. "Papi mau beli kecap atau garam ya di Inggris? Di pasar juga banyak, Pi."

"Yeee....emang kamu kira di Inggris cuma ada kecap sama garam?" balas sang ayah.

"Ya abis mau ngapain lagi?"

"Banyak. Kamu tahu gak kalo bekas rumahnya Enid Blyton masih ada sampai sekarang? Dan sekitarnya dijadiin taman lho," jelas sang ayah bersemangat.

"Taman? Apa bagusnya taman?" reaksi gadis kecil itu malah datar. Ya maklum aja, pengetahuan gadis kecil itu mengenai taman memang terbatas.  Wong satu-satunya taman yang dia tahu cuma taman kecil di kompleks rumah mereka. Taman yang isinya sedikit rumput, papan jungkat-jungkit dan ayunan. Kalo cuma kayak gitu, kenapa harus ke Inggris?

"Oh taman yang ini beda. Di sana ada bunga-bunga cantiik banget. Bayangin kamu pergi ke sana musim gugur waktu daun-daunnya warna kuning. Terus ada bunga merah, pink, putih. Bagus kan? Nanti Papi cariin gambarnya buat kamu. Dan Dan kamu bisa minum teh dan makan kue-kue ala Inggris di bekas rumahnya Enid Blyton lho," urai sang ayah panjang lebar.

"Wow!" She was sold to the idea of drinking tea and tasting some English snack. Yeah...she loveess cakes and pastries.

"Terus ya di Inggris ada museumnya Sherlock Holmes lho. Lokasinya di tempat yang sering dibilang rumahnya Sherlock," sang ayah masih cerita kelebihan Inggris.

"Sherlock yang suka pake topi lucu itu?" Si gadis kecil baru kenal Sherlock sebatas topi dan pipa cangklong yang khas. Itu pun karena dia sering melihat poster si detektif di kamar kerja sang ayah. Poster berlatar belakang jalanan gelap dan siluet si detektif sedang membungkuk dengan seragam kebesarannya sambil mencangklong pipa dan memegang kaca pembesar itu salah satu favoritnya. Dia suka dengan aura misterius di gambar itu.
"Di museum Sherlock bisa ngapain, Pi? Ada pipa cangklongnya juga?"  Gadis kecil itu memang sangat suka bermain dengan pipa cangklong koleksi sang ayah. Konon, sang ayah dulu perokok berat yang ngerokoknya pake tembakau. Tapi sejak putra pertamanya lahir, beliau sudah meninggalkan kebiasaan itu. Kini beliau hanya mengoleksi berbagai macam pipa cangklong walau tak pernah digunakan.

"Hahaha....aneh-aneh aja kamu nanyanya," tawa sang ayah sambil mengacak rambut si gadis. "Gak ada sih. Tapi kan di sana ada patung lilinnya Sherlock, ada miniatur kamar, laboratorium. Bisa foto-foto. Papi penasaran deh pengen liat. Terus di Inggris ada Liverpool lhoo. Bisa main ke stadionnya di Anfield. Di Liverpool juga ada stasiun yang..."

Sang ayah masih terus semangat membahas Liverpool sementara si gadis cuma senyum maklum aja. Ayahnya memang penggemar berat klub Liverpool. Beliau selalu mengajak -oke, sebenarnya memaksa- anak-anaknya untuk menemani beliau nonton bola kalo ada pertandingan Liverpool yang ditayangkan di TV. Sang ayah berharap dengan seringnya mereka terpapar Liverpool, ketiga anaknya akan jadi fans Liverpool juga. Sayang sampai saat itu usahanya belum berhasil juga.

"Di Inggris juga ada penjaga istana yang bajunya unik lho. Itu yang topinya tinggi kayak di gambar kaleng biskuit Monde," sang ayah mengubah pembicaraan demi dilihatnya si gadis kecil mulai bosan.

"Yang topinya tinggi hitam? Wah...aku sukaaa sama topi itu. Kayak ada bulunya." Mata gadis kecil itu berbinar.

"Nah iya yang itu. Tapi alasan utama banget Papi mau ke Inggris sih karena Beatles dari sana."

"Bitels yang nyanyi Blackbird tadi, Pi?"

"Iya Beatles yang itu. Yang juga nyanyiin lagu Jude yang kamu suka itu. Papi pengen ke Abbey Road, terus foto dengan gaya kayak gitu," ujar sang ayah sambil menunjuk poster besar di atas piano. Poster bergambar empat orang pria sedang menyeberang jalan.

"Apa bagusnya jalanan itu, Pi? Kayak jalanan biasa."

"Hus...sembarangan! Itu Abbey road tahu gak. Terkenal banget. Pokoknya Papi pengen ke sana dan foto sambil nyebrang jalan."

"Tapi itu di foto ada empat orang. Kalo sendiri kan gak mirip dong nanti."

"Siapa bilang Papi mau foto sendirian? Kan maunya sama kamu, kakak dan adikmu."

"Eh? Beneran? Aku diajak, Pi?" Gadis kecil itu langsung bersemangat. Walau pun awalnya gak tertarik dengan Inggris, tapi dia selalu senang berwisata ke mana pun.

"Ya iya dong. Mana enak jalan sendirian? Lagian Papi mah selalu mimpi mau ke Inggris ajak orang-orang yang paling Papi sayang." Sang ayah memeluk sekilas gadis kecilnya.

"Asyik. Kapan kita bisa ke Inggris? Besok ya? Atau sabtu aja, Pi. Biar bisa nginap. Pulangnya hari minggu malam aja kayak waktu ke Bandung kemarin."

"Ya gak bisa dong. Inggris itu jauh. Jauh banget. Gak bisa cuma nginap semalam aja. Lagian mahal ke sananya." Sang ayah ketawa melihat antusiasme si gadis.

"Jauh banget ya, Pi? Lebih jauh dari Mekkah dan Turki?" Demi melihat anggukan sang ayah, gadis kecil itu langsung lemas. "Yaaa...kalo gitu kapan dong bisa ke Inggris?"

Sang ayah mengangkat dagu si gadis kecil. "Hey...jangan kecewa gitu. Papi belum tahu kapan bisa bawa kalian ke Inggris. Tapi Papi janji bakal usaha sekerasnya buat itu. Cari duit sebanyak-banyaknya, kerja lebih keras lagi supaya kita bisa ke Inggris. Asal kamu janji bakal bantu usaha Papi dengan doa. Dan rajin belajar supaya nilai kamu selalu bagus dan Papi semangat. Setuju?" bujuk sang ayah sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

Gadis kecil itu tahu sang ayah selalu berusaha keras menepati janji. Kata beliau, orang itu dinilai dari gimana dia menjaga janji. Karena itu, dia yakin ayahnya serius. "Setuju," jawabnya sambil mengaitkan jari kelingkingnya dengan sang ayah.

"Nah gitu dong. Sekarang...kamu udah sholat Isya belum?" Demi melihat si gadis kecil menggeleng, ayahnya pun melanjutkan : "Sekarang kamu sholat ya. Abis itu tidur. Udah malam banget ini."

"Tapi papi lanjut main piano ya. Nyanyiin lagu Blackbird."

Ada satu doa yang diterbangkan ke langit malam itu. Doa yang dilepas si gadis kecil sebelum dia tertidur diiringi suara bariton sang ayah.

Blackbird fly Blackbird fly
Into the light of the dark black night.

===============================================

Kisah di atas sudah 20 tahun yang lalu namun saya masih bisa mengingat setiap detailnya dengan jelas. Suara bariton ayah, permainan piano beliau, bahkan bagaimana aroma dan rasa mie kuah berpadu dengan susu cokelat dingin pun masih jelas di memori.

Saya juga masih ingat, esok paginya saya mencari empat buah kaleng bekas permen dan melabeli masing-masing kaleng dengan tulisan "Mekkah", "Turki", "Inggris" dan "Buku". Dan sejak itu, saya membagi rata sisa uang jajan ke dalam empat kaleng tersebut. Saya dapat ide menabung itu karena teringat salah satu cerpen milik Enid Blyton. Kalo bisa membantu ayah, kenapa nggak?

Sampai sekarang saya masih meneruskan kebiasaan tersebut, walaupun wadah tabungan sudah bukan kaleng permen lagi.  Sayangnya sampe sekarang pun dananya belum terkumpul >.< Adaaa aja kebutuhan lain yang membuat tabungan itu harus dikuras dan ulang menabung dari awal.

Walau pun saldo tabungan gak berbeda, ada hal-hal lain yang berbeda.
Contohnya sekarang saya tahu kenapa ayah suka banget dengan lagu Blackbird. Rupanya lagu itu mengingatkan beliau pada sahabat-sahabatnya yang aktivis dan dikejar pemerintah dahulu. Mereka mengistilahkan diri sebagai 'blackbird'. Dan malam saat ayah menyanyikan Blackbird berulang kali adalah malam saat ayah mendapat kabar satu lagi sahabatnya yang menghilang.

Saya juga tahu kalo gambar di kaleng biskuit Monde itu bukan tentara Inggris, tapi tentara Denmark walau pun bajunya mirip.
Saya juga jadi suka banget sama Sherlock Holmes. Saya mewarisi fanatisme ayah pada detektif tersebut sampai membaca semua novel menyangkut dia, walaupun bukan Arthur Conan Doyle lagi yang menulisnya.

Tapi perbedaan yang paling kerasa adalah kepergian ayah sepuluh tahun yang lalu. My blackbird had flown into the dark black night. Sampai akhir beliau belum sempat mengajak kami ke Inggris walau pun saya tahu beliau telah berusaha semaksimal mungkin. Bahkan setelah beliau meninggal, ibu bercerita kalo ayah punya rekening tabungan khusus yang dipersiapkan sebagai dana agar kami sekeluarga bisa ke Eropa. Gak tanggung-tanggung, beliau merencanakan libur sebulan di benua itu.

Sewaktu mendengar cerita ibu, saya melepas satu lagi doa ke angkasa. Doa agar saya bisa mewujudkan mimpi ayah. Saya bertekad akan menapaki satu per satu mimpi beliau. Apa yang gak sempat beliau lakukan, akan saya lakukan. Sholat di mesjid biru dan naik balon udara di Turki, kibarin bendera merah putih di Eiffel (ya...itu salah satu mimpi lama ayah) sampai ke Inggris (Alhamdulillah beliau sudah sempat ke Makkah).

Hai, Pi. Suatu saat saya bakal menjejakkan kaki di Abbey Road, berfoto sesuai rencanamu dan memainkan rekaman permainan piano Papi sambil menyenandungkan Blackbird.
I promise I'm gonna do this someday or die trying :)


2 comments:

mrbedel hoki said...

sebuah tulisan yang menyentuh....
tentang seorang ayah yang menitipkan impian kepada anaknya
keren banget.
ane doain smoga impiannya untuk ke inggris bisa kesampean yah amin...

Fauziyyah Arimi said...

Hoo jadi ini behind the scene, mba dewi suka sama blackbirdnya the beatles.
ah, i'm faling for this story. T~T
good luck, mba :)

Post a Comment